apabila ada yang berminat untuk mengetahui wisata wisata alam yang ada di daerah solo dan sekitarnya. temen bisa menghubungi saya. odasamodra@gmail.com.
saya akan senang bisa mengantar anda unr=tuk berkunjung dan berwisata alam. terimakasih
Menjadi biasa untuk mencapai sesuatu yang LUAR BIASA, kesederhanaan bukan berarti tak punya apa-apa tapi lebih mengoptimalkan yang kita miliki
Senin, 13 Mei 2013
berwisata alam dengan kawan di karangannyar surakarta
nama ku (samodra) biasa di panggil ODA. sekarang aku sedang berwisata di salah satu objek wisata alam di karangannyar yaitu air terjum JUMOG.
ini aku berfoto dengan teman baru ku dari UGM, dia teman akrab dari teman ku Ibnu sulityo. namanya UTIY
ini foto ibnu dengan utiy di candhi sukhoh
3 foto ku di atas juga berfoto di daerah cagar alam candhi shukuh
ini kami sedang berada di salah satu objek wisata air terjun parang ijo
Selasa, 26 Maret 2013
Permainan Tradisional Bisa Jadi Media Pembelajaran
Permainan Tradisional Bisa Jadi Media Pembelajaran
ancient-wisdom-blog.blogspot.com
Dua perempuan sedang bemain dakon
YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Mainan tradisional sepatutnya dilestarikan, karena bisa menjadi media pembelajaran bagi anak-anak, kata peneliti dari Institut Seni Indonesia Surakarta Bagus Indrayana.
"Melalui permainan tradisional itu akan membangun kesadaran kolektif dalam bersosialiasi dengan anak-anak lainnya. Selain itu juga dapat menjadi media pembelajaran dalam penanaman sikap dan perilaku dalam kebersamaan," katanya di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia saat memaparkan hasil penelitiannya di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), mainan tradisional memiliki fungsi sosial dan budaya terkait dengan perkembangan anak menuju pemilikan pengetahuan dan keterampilan baik individu maupun kolektif.
"Perilaku kolektif terlihat pada kegiatan bermain di mana anak-anak saling berkomunikasi, bercanda, dan bermain dengan benda mainannya, seperti dhakon, gasingan, dan wayang umbul," katanya.
Ia mengatakan, mainan tradisional memiliki peranan signifikan dalam menumbuhkan kebebasan berkreasi, keleluasaan menetapkan pilihan material, bentuk, teknik, dan aturan bermain secara mandiri.
Proses pembuatan mainan tradisional menjadi ajang transformasi pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan orang tua kepada anak-anak.
"Proses tersebut mendorong anak-anak untuk menciptakan mainan sendiri sekaligus mengembangkan imajinasi, daya kreasi, dan keterampilan mereka," katanya.
Menurut dia, keberagaman mainan tradisional diciptakan tidak hanya sebagai sarana bermain semata. Selain itu mainan tradisional diciptakan dengan mengejawantahkan nilai filosofi dan keindahan fungsional yang sangat kompleks.
"Kompleksitas tersebut berkaitan dengan pandangan, perilaku, dan aktivitas hidup masyarakat penggunanya," katanya.
Misalnya, dalam mainan dhakon, yang dibuat dari batu berkaitan dengan upacara ritual yang di dalamnya mengandung nilai rohani, makna sosial, dan ungkapan estetika masyarakat.
Permainan dhakon merupakan gambaran perilaku petani sejak mereka melakukan kegiatan menanam benih di sawah hingga memanen dan menyimpan hasilnya dalam lumbung penyimpanan.
"Hal itu mencerminkan kehidupan masyarakat Yogyakarta di luar keraton yang menyandarkan hidupnya dari hasil pengolahan sawah dan ladang," katanya.
Ia mengatakan, mainan tradisional perlu diteruskan kepada generasi muda untuk menjaga eksistensi di tengah maraknya beraneka macam mainan modern saat ini.
Salah satunya bisa dilakukan dengan mengadakan festival mainan tradisional. Melalui kegiatan itu diharapkan generasi muda dapat menghayati dan memahami kompleks nilai di dalamya.
"Pewarisan juga bisa dilakukan melalui pendidikan formal maupun nonformal, misalnya dengan membentuk komunitas peduli mainan tradisional," katanya
.http://oase.kompas.com
Sumber :
ANT
Editor :
Jodhi Yudono
DUMBEG, JAJANAN TRADISIONAL KHAS REMBANG
DUMBEG, JAJANAN TRADISIONAL KHAS REMBANG
Pernahkah Anda menyantap jajanan dumbeg? Saat menyantapnya, dijamin lidah Anda akan terus bergoyang sambil merem melek menikmati kelezatannya yang khas.
Dumbeg merupakan jajanan khas Rembang yang sudah masyhur. Biasanya, jajanan ini hanya tersedia pada saat acara sakral digelar seperti tasyakuran sedekah bumi maupun sepasar manten.
Namun belakangan, karena banyaknya permintaan, jajanan dumbeg menjadi salah satu jajanan yang mudah didapat di pasar-pasar tradisional.
Makanan ini terbuat dari tepung nasi yang dibumbui dengan gula kelapa yang kemudian dibungkus menggunakan daun bogor (lontar) dengan cara dililitkan menyerupai kerucut.
Dumbeg rasanya sangat khas. Namun yang paling menarik adalah aroma pembungkusnya yang terbuat dari daun lontar. Karena mengalami proses pemanasan, maka bau lontar tersebut meresap ke dalam makanan. Hal ini menimbulkan aroma yang khas.
Bahan dasar dumbeg terdiri dari tepung beras, gula pasir/gula aren dan ditambahkan garam serta air pohon nira (legen). Namun, banyak juga yang ditaburi buah nangka/kelapa muda yang dipotong sebesar dadu untuk pelengkap dan variasi rasa.
Dumbeg Rembang yang paling lezat kebanyakan berasal dari dari sebagian besar desa di wilayah Kecamatan Sulang, Desa Pohlandak, Kecamatan Pancur dan Desa Mondoteko, Kecamatan Rembang.
Tidak berlebihan jika di daerah-daerah tersebut menjadi sentra jajanan dumbeg yang mempunyai kekhasan masing-masing.
Bahan Resep Dumbeg:
* 1 liter santan kental
* 250 gr gula pasir
* 1 sendok teh garam
* ½ kg tepung beras
* 2 sendok makan air kapur sirih
* 30 lb daun lontar
* 250 gr gula pasir
* 1 sendok teh garam
* ½ kg tepung beras
* 2 sendok makan air kapur sirih
* 30 lb daun lontar
Cara Membuat Resep Dumbeg:
* Campur santan kental, gula pasir, dan garam. Rebus hingga mendidih, angkat, biarkan hingga suam-suam kuku
* Campurkan tepung dengan air kapur sirih, aduk rata. Masukkan santan, aduk rata. Adonan harus cair
* Buat contong berbentuk kerucut dari daun lontar. Isi dengan adonan. Kukus hingga matang, angkat
* Sajikan dalam piring saji
* Campurkan tepung dengan air kapur sirih, aduk rata. Masukkan santan, aduk rata. Adonan harus cair
* Buat contong berbentuk kerucut dari daun lontar. Isi dengan adonan. Kukus hingga matang, angkat
* Sajikan dalam piring saji
Minggu, 24 Maret 2013
PESONA KEMERIAHAN THONG-THONG LEK
PESONA KEMERIAHAN THONG-THONG LEK
Pada hari Selasa 14 agustus 2012 malam tepat pukul 20.30, masyarakat Kab. Rembang dan sekitarnya seusai melaksanakan ibadah shalat tarawih langsung bergegas menuju rute yang akan dilewati oleh parade kesenian tradisional thong-thong lek. tepat pukul 21.00 wib, seluruh rute sudah penuh oleh penonton, mulai dari lokasi start yang bertempat persis di belakang pendopo Kab. Rembang - jalan HOS. Cokroaminoto - JL. DR Sutomo - JL Kartini - JL Pemuda - sampai lokasi finish di Galonan. ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.30, rombongan peserta thong-thong lek memulai parade satu per satu sesuai nomer undian yang mereka dapatkan saat pendaftaram, acara pun berlangsung sangat meriah, kolaborasi antara grup tradisional yang dilombakan dan grup elektrik yang hanya sebagai penyemarak acara pun berlangsung menarik ditambah dengan aransemen lagu yang atraktif dan kreatif serta dekorasi panggung berjalan yang ditampilkan oleh para peserta menambah meriahnya event besar setahun sekali garapan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Rembang tersebut. hingga acara usai tak ada kendala berarti, baik yang ditimbulkan oleh penonton, maupun peserta lomba. semua berlangsung dalam atmosfer yang menyenangkan dan damai antar satu sama lain. semoga di tahun-tahun mendatang, event ini bisa semakin meriah dan tidak hilang ciri khas nya.
Larung Kapal Sesaji Sedot Perhatian Puluhan Ribu Orang
Larung Kapal Sesaji Sedot Perhatian Puluhan Ribu Orang
Rembang-Tradisi perayaan sedekah laut dan bumi Desa Tasikagung Kecamatan Rembang masih menjadi primadona hiburan untuk warga Rembang dan sekitarnya. Puncak kegiatan berupa larung kapal sesaji menjadi momen yang paling ditunggu dan mampu menyedot perhatian puluhan ribu orang .
Seperti tahun-tahun lalu, setelah miniatur kapal berisi sesaji dilepas oleh Bupati Rembang, selanjutnya dikirab keliling Desa Tasikagung bersama tim penggembira termasuk berkeliling di sebagian wilayah yang berada di seberang jalan jalur pantura. Akibatnya sempat terjadi macet hingga belasan kilometer dari dua arah, barat menuju timur dan sebaliknya.Usai dikirab, tiga kapal sesaji dilepas ke laut dan ritual dipimpin sesepuh desa..
Sesepuh Desa Bakri mengatakan Maksud dan tujuan melarung kapal sesaji , merupakan bentuk rasa syukur atas limpahan rizqi yang diperoleh warga yang 90% bermata pencaharian sebagai nelayan.
Terpisah, Supolo selaku Kepala Desa Tasikagung menerangkan, penyelenggaraan perayaan sedekah laut dan bumi desa setempat tahun ini lebih meriah dari sebelumnya. Tahun lalu hanya menelan biaya Rp500 jutaan lebih, untuk tahun ini menghabiskan dana Rp630 juta.
Peningkatan biaya perayaan tambah dia, dikarenakan situasi dan kondisi laut sangat bersahabat dengan nelayan, sehingga pendapatan meningkat signifikan. Dana penyelenggaraan yang tergolong bombastis untuk perayaan tradisi lokal tersebut sepenuhnya hasil swadaya masyarakat dari iuran yang dipungut tiap kali nelayan pulang melaut.
sumber: www.cbfmrembang.blogspot.c
LONTONG TUYUHAN Makanan Asal Kota Rembang
Liburan, Kuliner Rembang Diserbu Pemudik
Lebaran memang identik dengan opor ayam, hampir setiap rumah menyediakan jenis makanan ini namun demikian bagi pemudik asal Rembang yang pulang ke kampung halamannya meskipun sudah menikmati opor ayam di rumahnya mereka masih memburu jenis makanan ini yang menjadi trade mark Kabupaten Rembang yakni lontong tuyuhan.
Berdasarkan pantauan Bangkit di sentra lontong tuyuhan yang terletak didesa tuyuhan kecamatan Pancur pada lebaran hari kedua terlihat parkiran baik mobil maupun sepeda motor terlihat penuh mereka rela mengantri untuk membeli makanan khas Kabupaten Rembang tersebut.
Agus pemudik asal lasem yang berdomisili di Semarang mengaku setiap pulang kampung selalu menyempatkan diri untuk mampir ketempat ini.
“Kami sekeluarga selalu mampir kesini untuk mencicipi makanan ini, kalau dibungkus dan makan dirumah rasanya sudah beda,” kata agus.
Selain di Desa tuyuhan hal yang sama terlihat di desa pereng kecamatan pancur, terlihat para penjual lontong tuyuhan sibuk melayani permintaan para tamu.
Selain lontong tuyuhan, makanan khas lain yang diburu para pemudik adalah sate sarepeh. Sate sarepah pak no dan sanem terlihat penuh. Hartono pemudik asal ngotet Rembang yang berdomisili di Jakarta jika sarapan biasanya menyempatkan diri di sate sarepah pak no.
Sedangkan saat syawalan giliran penjual legen dan siwalan yang berada di jalur Rembang – Blora yang raup untung. Cuaca yang panas menjadikan minuman khas Rembang ini menjadi semakin laris. Hampir setiap penjual legen dan siwalan di jalur tersebut dipenuhi para pengunjung syawalan.
sumber: www.rembangkab.go.id
AL-QUR'AN PENINGGALAN RA. KARTINI
DITELUSURI, AL-QUR'AN PENINGGALAN RA. KARTINI
Rembang – Pemerintah kabupaten Rembang siap menelusuri keberadaan sebuah Al Quran peninggalan keluarga Raden Ajeng Kartini. Al Quran dengan terjemahan Bahasa Jawa yang ditulis oleh Kyai Saleh Darat itu dinilai memiliki nilai sejarah penting. Kiai Saleh Darat lahir tahun 1820 Masehi di desa Kedung Jepara. Ayahandanya bernama Kiai Umar, seorang pasukan Pangeran Diponegoro. Kiai Saleh Darat kemudian mendirikan pondok pesantren di Semarang, hingga wafat tahun 1903.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinbudparpora Kabupaten Rembang, Karsono menjelaskan kitab Al Quran tersebut konon merupakan hadiah dari Kyai Saleh Darat kepada Kartini saat menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kalaupun tidak dihibahkan secara langsung kepada Museum, pihaknya berharap diizinkan untuk membuat replika kitab suci itu. Tambahan koleksi berharga untuk memperkaya sejarah RA Kartini. Karsono menuturkan Museum RA Kartini baru akan diserahkan oleh pemborong kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dalam waktu dekat ini. Hari Jumat (07 September 2012), rencananya berlangsung rapat di Semarang.
Usai kegiatan revitalisasi akhir tahun 2011, koleksi Museum Kartini bertambah hingga 133 item. Tambahan koleksi Al Quran penting bagi dunia pendidikan, terutama untuk menjelaskan hubungan Kartini dan dunia Islam. Menurut Karsono butuh waktu lama, memboyong benda benda peninggalan, semua masih proses dengan pihak keluarga.
Upaya Dinbudparpora menelusuri Al Quran warisan RA Kartini, mendapat dukungan dari Ketua Komunitas Sambua Lasem Abdullah. Menurutnya mushaf itu menjadi saksi sejarah saat RA Kartini terkesan dengan cara Kyai Saleh darat mengajarkan tafsir Al Quran. Konon, buku habis gelap terbitlah terang juga terinspirasi dari salah satu ayat surat Al-Baqarah.
Abdullah menambahkan Al Quran terjemahan bahasa Jawa itu masih disimpan oleh seorang cucu RA Kartini di Semarang. Melalui pendekatan bersama keturunan Kiai Saleh Darat, ia yakin kelak bisa ditarik ke dalam Museum Kartini. Apalagi untuk manfaat yang lebih luas.
sumber: www.radior2b.com
TEMPAT DI REMBANG
TUGU LILIN KABUPATEN REMBANG
JL. SUNAN BONANG ( ARAH REMBANG-LASEM )
SITUS TERJAN
TUGU ADIPURA REMBANG
WANA WISATA MANTINGAN
MAKNA MASKOT VISIT JATENG 2013 : "BURUNG KEPODANG"
MAKNA MASKOT VISIT JATENG 2013 : "BURUNG KEPODANG"
Pemilihan karakter :
Melambangkan sesuatu yang hidup, burung kepodang yang merupakan salah satu fauna khas Jawa Tengah. Burung Kepodang sudah dikenal masyarakat Jawa Tengah secara luas mempunyai makna filosofi yang tinggi. Bagi masyarakat Jawa Tengah, burung Kepodang melambangkan kekompakan, keselarasan dan keindahan budi pekerti sekaligus juga melambangkan anak atau generasi muda.
Pemilihan pose/sikap maskot :
• Wajah yang tertawa jenaka, ramah dan bersahabat sesuai dengan tag line visit Jawa Tengah 2013 “More than friendly” .
• Sikap badan yang membungkuk mencerminkan sikap menghormati masyarakat Jawa Tengah kepada tamu atau wisatawan.
• Tangan kiri yang melambai dengan telapak terbuka diartikan dengan ramah memanggil atau mengundang wisatawan untuk datang berwisata ke Jawa Tengah.
• Tangan kanan yang mengacungkan ibu jari melambangkan sikap masyarakat Jawa Tengah yang dengan sopan dan santun sesuai adat dan kebudayaannya mengungkapkan “sugeng rawuh di Jawa Tengah” (selamat datang di Jawa Tengah), “Welcome To Central Java” kepada para wisatawan.
Pemilihan Busana :
• Busana tradisional adat Jawa Tengah yang gagah dan berwibawa.
• Atasan beskap berbahan tenun lurik merupakan baju khas Jawa Tengah yang merupakan warisan budaya dan saat ini sedang digalakkan pelestariannya sebagai salah satu produk unggulan Jawa Tengah.
• Bawahan kain batik bermotif kawung mencerminkan sikap kesederhanaan tetapi mengandung nilai seni budaya yang tinggi dari masyarakat Jawa Tengah.
• Blangkon di kepala, selop hitam dan keris model ladrangan melengkapi busana adat masyarakat Jawa Tengah yang penuh makna filosfis dan budaya.
Pemilihan Warna :
• Warna kulit yang kuning keemasan selain sesuai dengan warna burung kepodang dan memiliki makna simbolis dari kemegahan Jawa Tengah.
• Warna maskot didominasi oleh warna merah, kuning, hitam dan putih sesuai dengan filosofi Jawa.
BY : Ikatan Mas Mbak Rembang (IMMR)
Berencana Tambah Kampung Batik ( REMBANG )
Berencana Tambah Kampung Batik
Pemerintah hari ini tanggal 2 Oktober menetapkan Hari batik Nasional sebagai salah satu
warisan budaya dunia yang lahir dari Indonesia. Moment Peringatan ini akan dijadikan
ajang untuk melestarikan Batik yang ada di Kabupaten Rembang.
Sekda Rembang Hamzah Fatoni mengungkapkan, Sesuai dengan Finalisasi Draf yang ada
, Pemkab Rembang akan menindaklanjuti dengan memperbanyak kampung batik yang
sudah ada, khususnya menambah Kampung Batik yang berada di Lasem.
Langkah ini menurut Sekdadikandung maksud mempunyai tujuan untuk memanfaatkan
atau menumbuhkan peluang industri Batik yang ada dikabupaten Rembang menjadi tuan
rumah dinegerinya sendiri.
Disamping itu kita kembali mengingatkan masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa industri
batik menjadi salah satu ciri khas pakaian nasional Indonesia dan diakui Dunia. Kondisi ini
perlu diperlihatkan bangsa indonesia bahwa batik merupakan bagian pakaian khas yang ada
di tanah air kepada dunia luar.
Sekda lebih lanjut menambahkan, Sebagai wujud kecintaan terhadap batik, di Hari Batik
Nasional ini seluruh karyawan dilingkungan pemkab Rembang hari selasa ini mengenakan
pakaian khas batik,
Bukan hanya pakaian ‘resmi’ di kantor, Inovasi demi inovasi diharapkan membuat kalangan
muda tidak hanya tak malu dengan batik, tetapi juga bangga mengenakannya, dan ada
segenggam kebanggaan terhadap Indonesia.
sumber : www..rembangkab.go.id
REMBANG BASKETBALL MAN
PEMAIN BASKET SENIOR DARI REMBANG YANG SEDANG MAEN BASKET DI LAPANGAN SMP N 2 REMBANG PADA SORE HARI
SESEPUH BASKET REMBANG. PERBASI REMBANG
POPDA SMA
PORPROV JEPARA
PAK WAHONO
WAKTU MAEN PORPROV DI JEPARA, MENGINAP DI HOTEL SAMUDRA DENGAN TIM BASKET COWOK CEWEK DAN TIM MANAJERIAL
PAK TAIFUR
PORPROV
TIM MANAJERIAL
LAPANGAN BASKET SMA N 1 REMBANG
PAK SINYO
PAK WAHONO ( SETAN )
Selasa, 19 Maret 2013
makalah Batik
== karya == SAMODRA KHARISMA AJI S
1.
Pengantar
SETELAH
mengalami masa suram yang cukup panjang, batik kembali merajai dunia busana
tanah air kita. Semua usia pada segala lapisan masyarakat, semuanya berpakaian
batik. Yang semakin membanggakan ialah bahwa sejak 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai salah
satu warisan budaya dunia. Sayangnya, pengakuan dunia tersebut tidak disertai
dngan pemahaman masyarakat Indoneia sendiri sebagai negara asal batik bahwa batik ternyata mempunyai
makna. Secara umum, seseorang jatuh cinta kepada sehelai kain batik hanya
karena tyamplan luarnya, tanpa memahami makna apa yang ada di balik sehelai
kain batik tersebut.
Selembar
kain batik tulis merupakan sebuah hasil karya seni terpadu yang indah dan unik, yang menjadikannya
bagian dari warisan leluhur, yang sangat kita banggakan.
Keunikannya bagian dari warisan leluhur, yang sangat kita
banggakan. Keunukannya sudah dimulai dengan kata batik itu sendiri. Kata yang begitu singkat, yang menurut lafal
aslinya seharusnya diucapkan sebagai bathik,
ternyata memiliki begitu banyak segi, yang masing-masing serba unik.
Dari
segi artinya, membatik ialah melukis di atas sehelai mori, dengan sebuah alat khusus yang disebut chanthing, yang telah diisi dengan cairan lilin panas. Melukis
dengan cara tersebut di atas cukup unik, namun masih banyak lagi segi-segi pada
batik yang menimbulkan kekaguman, misalnya: proses yang harus diberlakukan pada
sepotong bahan sebelum dapat dilukis dan sesudahnya.
Motif-motif
yang dilukispun mempunyai bentuk-bentuk dan gaya yang khas, yang jelas
membedakan kain batik dengan kain bergambar lainnya. Semua motif tersebut
disusun menjadi sebuah lukisan yang utuh, yang memenuhi seluruh lebar kain,
yang selanjutnya saya sebut pola.
Setelah
seorang pembatik selesai dengan membuat pola pada selembar kain mori, maka
bahan tersebut masih harus diproses
lagi oleh para pengrajin batik. Misalnya dengan memberi pewarnaan, untuk akhirnya dpat dipakai
sebagai bagian dari busana tradisional masyarakat Jawa pada abad-abad yang
lalu.
Dapat
dimengerti bahwa segala sesuatui mengenai batik dan kain batik merpakan sumber
inspirasi bagi para pecinta batik yang berbakat menulis. Tidak terhitung
banyaknya buku mengenai batik, baik yang dihasilkan oleh penulis bangsa kita
sendiri, maupun penulis bangsa asing. Namun dapat dipastikan bahwa dari semua
buku tersebut tidak ada yang sama isinya. Masing-masing penulis membahas segi
yang paling menarik perhatiannya,yang sesuai dengan kepentingan atau latar
belakang pendidikannya. Dan ada lagi hal yang membedakan warna buku yang satu
dengan yang lainnya, yaitu pandangan penulis
terhadap objeknya. Jelasnya, buku yang ditulis oleh seseorang yang
memandang kain batik sebagai hasil karya seni misalnya akan lain sama sekali isinya
dengan buku karangan penulis yang memandang kain batik sebagai sebuah komoditi. Walaupun menyadari
banyaknya buku tentang batik yang sudah ada di pasaran, saya memberanikan diri
untuk menambahnya dengan satu buah lagi. Bukan cara membatik yang dijadikan
fokus, bukan pula cara pewarnaan atau proses pendahuluan dan penyelesaian kain
batiknya. Yang akan saya ketengahkan di dalam buku tersebut adalah apa yang
yang dilukis oleh para pembatik, yaitu polanya, serta makna yang dikandungnya.
Bagi
almarhum Iwan Tirta, seorang empu batik yang belum lama berselang meninggal
dunia, batik tidak saja indah dan unik, tetapi juga agung. Dalam majalah Femina no.23/XXXVIII halaman 44, ada
cuplikan pendapatnya yang saya kutip di sini. “Keagungan batik terletak pada
proses panjangnya,yaitu sejarah, tradisi dan filosofi. Jadi, bukan asal
mengecap dan mencetak.” Dan sejalan degan apa yang diutarakan oleh almarhum
Iwan Tirta tersebut, yang akan ditulis dalam buku ialah apa yang dilukis, dicap
dan dicetak tersebut.
Sebenarnya
pola, yang merupakan bagian dari kain batik, tidak kalah uniknya dari kain
batik itu sendiri, karena pola-pola tersebut mengandung pesan. Adapun pesan itu
pada umumnya ajaran etik atau moral, yang mengarah kepada kebahagiaan dan
kesejahteraaan manusia, baik lahir maupun batin. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pola itu tidak hanya indah dipandang mata, tetapi juga indah
dalam makna. Dapat dimengerti bahwa sampai pada pertengahan abad yang lalu,
kain batik menduduki tempat yang penting dalam kehiduan masyarakat Jawa, baik
secara spiritual maupun material.
Nama
dan garis besar makna pola merupakan pengetahuan umum pada zaman itu, terutama
bagi para perempuan. Pada waktu para perempuan kita kebanyakkan masih buta
aksara, mereka mampu mewariskan nilai-nilai etik dan moral tersebut kepada
anak-anak didik mereka, melalui dongeng.
Saying bahwa lembaga mendongeng sudah tidak dapat kita temukan lagi
sekarang ini di dalam khasanah budaya kita. Salah satu akibatnya ialah bahwa masyarakat sekarang tidak mengeal
lagi makna pola pada selembar kain batik. Ditambah adanya gejala umum untuk
mengutamakan “yang tersurat” di atas “yang tersirat”, yang juga berlaku pada
sikap masyarakat terhadap pola batik.
Hal
tersebut dibuktikan dengan meluasnya pemberitaan dan pengetahuan masyarakat
mengenai kain batik dalam segala bentuk konkritnya. Termasuk misalnya bagaimana
cara membatiknya serta jenis-jenis
pewarnaannya. Sebaliknya pengenalan serta pemahaman masyarakat akan segi
abstrak kain batik, yaitu maknanya, hampir-hampir tidak terdengar beritanya.
Sangatlah mungkin bahwa Negara jiran yang telah mendapatkan hak paten atas
beberapa pola batik kita, juga hanya mengenali segi-segi konkritnya saja.
Semoga dengan demikian, masih beruntunglah kita karena segi abstraknya masih
tetap menjadi milik kita. Namun demikian, amat disayangkan bahwa sebagian besar
di antara kita tidak menyadari keberuntungan tersebut. Keadan ini sangat
memprihatinkan, karena segi abstrak kain batik klasik mengandung nilai-nilai
spiritual masyarakat kita. Kenyataan inilah yang menjadi latar belakang
keinginan saya untuk menyusun tulisan ini.
PENGERTIAN
TENTANG POLA BATIK KLASIK
Yang
disebut pola batik ialah keseluruhan motif batik yang dibatikan pada sehelai
kain mori, yang telah disusun menjadi sebuah hasil karya seni yang indah. Pada
dasarnya setiap pembatik dapat membuat pola batik sendiri, sesuai dengan selera
dan maksud hatinya. Kenyataan ini sudah berlangsung sejak masyarakat kita
mengenal batik sampai hari ini.
Dapt
dipahami bahwa jumlah pola batik ini tidak terhitung banyaknya. Namun, diantara
pola-pola tersebut ada yang bersifat khusus, yaitu: pola-pola yang bermakna.
Pola-pola jenis ini memiliki beberapa keunikan, yaitu:
1.
Motif-motifnya
merupakan lambang, yang semuanya mengarah pada tujuan yang baik atau benar.
Beberapa contoh motif merupakan lambang:
a. Motif
sayap burung, atau lar dalam bahasa
Jawa, yang sering sekali menghiasi pola-pola batik klasik. Dalam bentuknya yang
paling sederhana, yaitu satu sayap, atau dua sayap, yang saling berhadapan
menjadi satu, motif tersebut sealu melambangkan: kekuatan, kekuasaan dan
kesaktian.
Tetapi, lar tersebut sering sekali dikembangkan,
misalnya, dengan menambahkan ekor di tengah kedua sayap, kemudian ditambah lagi
dengan lukisan kepala. Kadang-kadang kepala burung, tetapi kadang-kadang pula
kepala seekor naga. Motif-motif perkembngan tersebut, yang lalu dinamakan
Garuda, tidak saja melambangkan kekuatan, kekuasaan dan kesaktian, melainkan
terutama: sumber segala kekuasaan alam semesta, Sang Hyang Pencipta Agung, atau
dalam bahasa agamis kemudian disebut: Tuhan Yang Maha Esa. Namun, dengan siring
perkembangan zaman, ada pergeseran makna pada motif sayap ini. Pada zaman
sekarang, motif ini diartikan sebagai kekuatan atau kekuasaan yang bersifat
duniawi, yang mengacu pada sosok raja, presiden, kepala pemerintahan, kepala
negara, pejabat negara, negara itu sendiri dan lain sebagainya.
b. Motif
puncak gunung atau Meru : yang secara tidak langsung
melambangkan kesuburan. Di mana ada gunung, di situ juga ada hujan,dan di mana
ada hujan di situ juga ada kesuburan. Kesuburan di sini memiliki makna yang
sangat luas, meliputi kesuburan pada tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia
atau masyarakat. Kesuburan pada manusia atau masyarakat berarti keberhasilan,
kesejahteraan, kemakmuran dan lain sebagainya.
2.
Pola-pola tersebut berisi
atau mengandung pesan-pesan pencipta pola. Adapun pesan-pesan tersebut
kebanyakan terdiri dari ajaran-ajaran hidup termasuk di dalamnya aturan-aturan
moral. Ada yang berisi doa keselamatan dan harapan akan kebahagiaan, ada pula
yang berisi penolak bala. Di antaranya juga ada yang diciptakan khusus untuk
memperingati suatu peristiwa yang dipandang penting pada waktu itu. Pendek
kata, pola-pola batik yang bermakna tersebut bersama-sama merupakan ungkapan
rasa dan jalan pemikiran masyarakat Jawa, yang latar belakang sejarahnya begitu
kaya akan keanekaragaman budaya.
3.
Pola-pola tersebut
selalu diberi nama oleh penciptanya. Bagi para empu batik, faham Barat yang
mengatakan What is in a name atau Apalah arti sebuah nama tidak berlaku
pada pola batik. Seringkali nama pola justru penuh arti. Bahkan, seringkali
nama pola sudah ada dalam pemikiran sang pencipta sebelum polanya sendiri
tersusun.
Ada
sejumlah pola yang mendukung pendapat saya. Salah satunya adalah pola yang
dinamakan Kembang Bangah atau Bunga Bangah
dalam bahasa Indonesia. Pada tahun 1984, pola ini diciptakan oleh Hardjonagoro
Go Tik Swan, untuk mengungkapkan rasa masygul dan prihatinnya terhadap keadaan
masyarakat dan negara pada waktu itu. Kembang atau bunga Bangah, yang tumbuh di
comberan dan berbau busuk, melambangkan dirinya. Sebagai rakyat biasa, ia hidup
di tingkat bawah; dan bau bunga yang busuk mengibaratkan suaranya yang sumbang
terhadap pemerintah. Itulah yang sering diceritakan kepada saya.
Pada
masa lalu, para seniman Jawa terbiasa untuk mengemas protes mereka terhadap
penguasa dalam ciptaan mereka. Contohnya ialah Ranggawarsita dengan Kalatidha-nya, Gesang dengan lagunya
yang berjudul Caping Gunung dan
Rahardjonagoro dengan Kembang Bangah-nya.
Pendapat ini juga saya temukan pada buku “Jawa Sejati”, karangan Rustopo dan
buku “Batik Indonesia & Sang Empu: Go Tik Swan Panembahan Rahardjonagoro”
karangan Neneng Iskandar.
Untuk
selebihnya nama pola tidak saja membedakan pola satu dengan lainnya, melainkan
juga merupakan kemasan inti dari apa yang ingin dipresentasikan pleh
penciptanya. Dengan kata lain, nama adalah ringkasan pesan dan pola
penjabarannya, yang diungkapkan melalui motif-motifnya. Jelaslah sekarang,
bahwa untuk dapat mengerti makna yang ada di balik sebuah pola sedikit-sdikitnya
kita perlu mengetahui namanya.
Artinya,
walaupun makna pola kadang-kadang sukar digali dari motif-motifnya, makna dapat
ditemukan melalui namanya. Untunglah tidaksemua pola sukar untuk dicari
keterangannya. Banyak juga yang mudah sekali ditebak maknanya. Andaikata pun
ada pola yang begitu sulit diartikan atau begitu tidak masuk akal, hal tersebut
hanyalah disebabkan karena kita lah yang tidak atau belum menguasai bahasa
lambang. Paahal bahasa tersebut, seperti bahasa-bahsa lain di dunia,dapat saja
dipelajari asal ada kemauan. Yang penting untuk diingat ialah bahwa pola-pola
yang bermakna pasti bukanlah motif-motif yang dibuat secara serampangan atau
asal-asalan sebagai ungkapan perasaan sesaat. Dapat diyakini bahwa para empu
pencipta pola batik yang bermakna telah mengarahkan dan memadukan seluruh
kemampuan budaya mereka untuk menuangkan apa yang ingin mereka pesankan ke
dalam pola yang indah yang terdiri dari sekumpulan lambang.
Cara
orang Jawa untuk tidak mengatakan secara jelas dan gamblang sesuatu yang justru
sangat penting dan bermanfaat, acap kali menimbulkan rasa geli gregetan mereka
yang non-Jawa. Mereka katakana bahwa orang Jawa gemar membuat sulit hal-hal
yang sebetulnya mudah, atau dalam bahasa Jawanya: Nek bisa angel,kena apa kok digawe gampang!
Penulis buku ini, yang orang Jawa,
hanya dapat berkilah bahwa orang Jawa kuna memang terbiasa untuk menyampaikan
pesan-pesan penting melalui lambang. Mungkin saja supaya pesan-pesan tersebut
lebih diperhatikan. Sebenarnya, di samping pola-pola batik ada contoh lain dari
kegemaran orang-orang Jawa kuna tersebut, yaitu cara menulis angka-angka tahun
yang penting dalam sejarah bangsa kita. Mereka tidak menulisnya dengan
angka-angka, tetapi ringkas apa yang terjadi dalam tahun tersebut. Salah satu
contoh yang dapat ditemukan dalam buku Sarining Kasusastraan Jawa, karangan
Subalidhinata RS, ialah Sirna Ilang
Kataning Bumi. Untuk dapat menemukan angka tahun dari kalimat tersebut
perlu diketahui bahwa setiap kata melambangkan angka. Adapun sirna yang berarti hilang melambangkan
angka 0, demikian pula kata ilang yang
berarti hilang menjadi lambang dari angk 0. Sedangkan karta yang berarti sejahtera, aman dan tertata melambangkan angka
4. Dan bumi yang berarti bumi,
kerajaan atau tanah melambangkan angka 1. Untuk mendapatkan angka tahun,
caranya adalah dengan menyusun angka-angka dari belakang ke depan, sehingga di
sini kita dapatkan tahun 1400. Adapaun arti lengkap dari Sirna Ilang Kataning Bumi adalah bahwa pada tahun 1400 terjadi
hancurnya kraton Majapahit. Seni menggunakan lambang untuk angka tahun tersebut
dalam kesusastraan Jawa dikenal dengan istilah Candrasengkala. Nah, ternyata ada yang lebih sukar daripada mencari
makna pola batik bukan klasik.
Pada
beberapa dasawarsa yang lalu, ada kebiasaan yang berlaku pada tingkat
masyarakat menengah ke atas untuk membekali pengantin perempuan dengan
kain-kain batik dengan pola-pola tertentu. Kain-kain tersebut sudah
dipersiapkan pembuatannya jauh sebelum si gadis dilamar orang. Apabila ada
gadis meningkat dewasa, ibu dan keluarga dekat lainnya mulai sibuk membatik
atau memesan pada seseorang pembatik ntuk membuatkan kain-kain yang
pola-polanya mengandung di dalam berbagai ajaran hidup, doa-doa keselamatan dan
penolak bala, yang akan dibawakan kepada anak tercinta bila nati muai membina
keluarga baru. Pada waktu itu, kai batik masih merupakan bagian yang mutlak
bagi kehidupan masyarakat Jawa. Hal tersebut berlaku untuk semua lapisan
masyarakat, baik laki=laki maupun perempuan, semua umur dan semua kesempatan.
Konon, dahulu kala kain batik dimanfaatkan manusia samapai kain itu tidak
tersisa, karena kain yang sudah usang pun masih bias digunakan untuk popok
bayi. Dengan kata lain, kain batik selalu menemani manusia pada semua tahapan
dalam hidupnya, sejak ia dilahirkan sampai mentup mata. Di samping itu, kain
batik juga merupakan sumber kekuatan spiritual masyarakat.
Bukti
bahwa pola batik diyakini mengandung muatan spiritual atau makna, ialah
kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku sampai hari ini di kalangan orang Jawa,
bhwa pada peristiwa penting dalam hidup ereka, mereka selalu ingin memakai kain
batik dengan pola tertentu. Misalnya saja, begitu ada seseorang dari suku Jawa meninggal, di mana pun pada
waktu itu ia berada, pasti jenazahnya segera ditutupi dengan sehelai kain batik
dengan pola yang bermakna. Ternyatalah bawha untuk “perjalanan terakhirpun”
seseorang masih dibekali dengan doa-doa selamat atau harapan-harapan bahagia di
alam yang abadi nanti.
Malahan
dulu pada waktu orang membatik untuk memenuhi kebutuhan mereka sendirida
orang-orang yang mereka kasihi, pada waktu itu orang yakin bahwa kain batik
mengandung kekuatan magis. Hal tersebut mudah dimengerti karena biasanya pada
waktu membatik, yang membatik berpuasa atau menjalani pantangan-pantangan
tertentu. Lagipula, sambil
menggerak-gerakkan canthing yang
berisi lilin panas di atas kain mori, si pembatik memusatkan pikirannya pada
pesan-pesan yang ingin ia sampaikan melalui pola tersebut. Jelaslah bawhwa saat
ini, hampir tidak lagi dapat ditemukan kain batik tulis yang mengandung
kekuatan magis, walau polanya bermakna sekalipun, dan pembatiknya sangat ahli
dan terampil. Masalahnya pembatik sekaran pada umumnya hanya berupaya
menyelesaikan pekerjaan sebaik-baiknya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya
agar mereka dapat memulai pekerjaan baru. Dengan kata lain, pembuatan batik
tidak lagi dibarengi dengan olah batin apapun. Beruntunglah mereka yang masih
memiliki kain batik warisan, terutama buatan kerabat sendiri. Pada jaman dahulu
sempat dikenal istilah menyembuh kain,
berasal dari kata Jawa nyembuh.
Maksud pemilik dalah mencerahkan kembali warna-warna kain batik yang sudah
mulai pudar karena waktu, agar supaya kain yang berkekuatan magis tersebut
masih dapat digunakan lebih lama. Untuk tidak mengecilkan hati para calon
kolektor kain batik, perlu dijelaskan walaupun kain batik buatan jaman sekarang
hampir tidak ada lagi yang berkekuatan magis, poola-pola tersebut tetap
mengandung makna. Bahkan, pola-pola yang dibuat dengan cap sekalipun mengandung
makna yang sama. Memang jenis mutu kain berbeda, teknik penggambaran pada kain
pun tidak sama.
Ada
batik tulis, pola dilukis dengan tangan, peralatan chanthing, dan pada batik cap pula dicapkan pada kain mori. Namun
perbedaan tersebut tidak mengurangi mkna pola, apalagi menghilangkannya. Kain
batik cap jelas jauh lebih murah harganya daripada batik tulis karena sebagian
besar kerja tangan diganti dengan cap. Tetapi hal tersebut tidaklah berarti
bahwa batik cap tidak memiliki nilai seni. Pembuatan cap yang dibuat dari tembaga
harus dilakukan oleh pengerajin tembaga yang ahli dalam bidangnya bersama-sama
dengan seorang ahli pola. Batik cap mungkin sekali lahir untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat luas yang sangat mengapresiasi pola-pola batik yang
bermakna tetapi kurang kuat keuangannya. Dengan demikian, sumber kebudayaan
spiritual yang diwariskan oleh para leluhur kita, yang disembunyikan dengan
canggih di dalam pola-pola batik, dapat juga terjangkau oleh mereka yang
percaya dan ingin memilkinya tetapi tidak mampu membeli kain batik tulis.
Sepasang
pengantin dari kalangan berbeda misalnya, yang mengadakan resepsi pernikahan
mereka di sebuah hotel mewah, mungkin sekali memakai pola batik yang sama
dengan sepasang pengantin lain, yang mengundang tamu-tamu mereka di sebuah
ruang kecil dan sangat sederhana, di sebuah lorong sempit dan
becek.perbedaannya terletak pada kualitas kain dan pembuatan pola, pertama
dibuat dengan tangan, sedangkan yang kedua dibuat dengan cap. Walaupun kualitas
kain batik yang dikenakan berbeda, tetapi kedua pasang pengantin tersebut
merasakan ketenangan batin yang sama, karena mereka disertai dengan doa
selamat, yang dilambangkan dalam pola batik yang sama pula.
Selain
contoh tersebut di atas, masih banyak kebiasaan-kebiasaan lain yang membuktikan
bahwa pola-pola batik ternyata masih menduduki tempat yang penting dalam
kehidupan spiritual masyarakat kita. Kenyataan ini tentu membesarkan hati
pecinta pola batik. Tetapi hendaklah disadari bahwa kebiasaan sekuat apapun
dapat saja melemah atau hilang sam sekali apabila tidak disadari dengan
pengertian tentang mengapa kebiasaan tersebut perlu dipertahankan. Untuk itulah
maka pola perlu diperkenalkan, karena yang dikatakan pepatah Barat “Tak
kenal maka tak disayang” dapat disaksikan
kebenarannya melalui sikap masyarakat kita.
Jumlah
pola batik tidak terhitung jumlahnya. Beberapa ratus diantaranya bisa disebut
pola-pola batik klasik. Yang dimaksudkan dengan istilah tersebut ialah
pola-pola batik yang sudah berusia puluhan, bahkan ratusan tahun, tanpa
mengalami perubahan. Itu tidak berarti bahwa pola klasik tidak bisa mengalami
perkembangan. Mungkin saja kemudian ada gaya melukis motif yang berbeda. Bahkan
mungkin pula ada motif yang ditambahkan. Justru untuk menambah makna. Tetapi
belum pernah saya menjumpai atau mendengar ada motif yang dikurangi. Untuk
selanjutnya pola yang telah mengalami perubahan tersebut saya sebut pola
perkembangan. Bahkan maknanya pun mungkin berubah-ubah sedikit, tidak hanya
pengaruh waktu, melainkan terutama karena unsure subjektivitas para pemakai.
PENGGOLONGAN POLA BATIK KLASIK
Pada
umumnya banyak penulis dan peneliti pola batik membagi pola-pola batik ke dalam dua golongan besar, yaitu
golongan geometris dan golongan non geometris.
I.
Golongan geometris atau
bentuk-bentuk ilmu ukur.
Pada golongan ini, motif-motifnya
terdiri dari bentuk-bentuk ilmu ukur, yang dimulai dari titik, menjadi garis,
lingkaran, segitiga dan lain sebagainya. Susunannya pun memperlihatkan
garis-garis vertikal, horizontal dan diagonal.
Contoh dari pola diametris:
a. Kelompok
pada Lereng atau Parang
Pada
kelompok Lereng, polanya terdiri dari
lajur-lajur atau bidang-bidang yang sempit, yang berisi motif-motif yang
berbeda-beda , dan yang ditata secara diagonal. Salah satu contohnya ialah Rujak Senthe.
b.
Kelompok pola Ceplok
Adapun
kelompok Ceplok, motif-motif utamanya
berbentuk penampang-penampang bunga, buah, biji dan binatang. Juga sering
berupa bintang, lingkaran, bujur sangkar dan lain-lain bentukan ilmu ukur.
Motif-motif itulah yang dalam bahasa batik disebut ceplok.
Adapun ceplok-ceplok itupun disusun
secara vertikal, horizontal dan diagonal. Salah satu contohnya ialah Wirasat.
II.
Golongan non-geometris
Motif-motif yang menghiasi pola-pola
non-geometris, terutama terdiri dari: flora, fauna, bangunan-bangunan dan sayap
dalam berbagai bentuk dan benda-benda alam. Contohnya ialah Kakrasana.
Pembagian
menjadi 2 golongan tersebut tidak berarti bahwa ada pembagian yang tegas di
antara keduanya. Banyak sekali pola-pola geometris yang mengandung unsur-unsur
non geometris, dan demikian pula sebaliknya.
1.
PENGERTIAN TENTANG
SEMEN DAN ISEN-ISEN
Perlu saya ingatkan bahwa pembagian
pola menjadi pola-pola geometris dan non geometris hanya dikenal di kalangan
peneliti dan penulis pola batik. Masyarakat umum menggunakan istilah semen bagi pola non geometris. Mengapa
demikian?
Karena pola-pola
tersebut selalu mengandung semen,
baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Adapun yang disebut semen ialah berbagai macam motif
berukuran kecil, yang merupakan motif tambahan pada pola-pola batik. Sesuai
dengan namanya, ialah Semen, yang
berasal dari kata Jawa semi, yang
berarti tumbuh, semua motif Semen
selalu menggambarkan sesuatu yang tumbuh atau hidup. Oleh karena itu, motif Semen selalu berupa ranting, daun atau
bunga. Mudah dimengerti bahwa motif-motif Semen
melambangkan kekuatan hidup.
Motif Semen yang paling sering kita jumpai
pada pola-pola batik klasik ialah ranting-ranting muda yang berdaun, atau
kadang-kadang juga berbunga. Motif tersebut dinamakan lung-lungan, sebuah kata Jawa yang berarti ranting muda. Tetapi
kata yang sama juga berarti saling memberi, dengan tangan. Terbukti bahwa
saling memberi atau saling membantu merupakan salah satu cirri khas bangsa
kita. Di samping melambangkan sumber kekuatan hidup, pola-pola Semen juga mengandung ajaran hidup dan
moral, yang dilambangkan oleh motif-motif utamanya, sama halnya dengan
pola-pola geometris.
Masih ada lagi sesuatu
hal mengenai pola yang perlu diketahui oleh para pecinta pola batik, yaitu isen-isen. Isen-isen berasal dari kata Jawa isi yang juga brarti isi dalam
bahasa Indonesia. Isen-isen berarti
“isi” yang banyak. Ukurannya kecil, jeisnya ada puluhan dan fungsinya ganda.
Kadang-kadang isen-isen dimaksudkan
untuk menghidupkan atau mempercantik motif-motif utama.
Sering pula isen-isen itu dilukis untuk mengisi
bagian-bagian pola yang kosong. Ada pula isen-isen
yang melambangkan sesuatu, seperti misalnya yang disebut ukel, yang bentuknya antara lain seperti: . Mungkin karena bentuknya
menyerupai tunas tanaman pakis, maka,
ukel juga melambangkan kekuatan
hidup. Ada lagi jenis isen-isen yang
pantas dikenali, yaitu yang dinamakan mlijon,
yang berbentuk . Menurut
kepercayaan masyarakat Jawa Kuno, motif mlinjon
yang dibuat dengan chanthing, artinya
dibathik dengan tangan, sarat dengan kekuatan magis, karena para pembatik pada
waktu itu, yang suka berpantangan dan berpuasa, terbiasa untuk memasukkan
kekuatan batin dalam karya mereka.
Pada pola-pola Lereng, yaitu pola-pola yang terdiri
dari lajur-lajur yang diagonal, adal sekelompok besar yang di antara
lajur-lajurnya disisipi rangkaian mlinjon.
Kelompok itulah yang disebut kelompok Parang, kelompok pola yang pada jaman
dahulu sangat favorit, karena diyakini penuh dengan kekuatan magis.
2.
Makna
Pola Batik Klasik
KEINDAHAN yang dapat ditangkap oleh
indera penglihatan, kita sebut sebagai keindahan visual, dan keindahan
spiritual atau makna ialah pesan atau ajaran para leluhur pencipta pola, yang
disampaikan melalui motif-motif besar
maupun kecil, yang masing-masing merupakan lambing, yang disusun menjadi
pola yang indah. Marilah kita mulai berkenalan dengan makna dari beberapa pola
batik klasik yang masih sering kita jumpai.
1.
Kawung
Kawung merupakan
sebuah pola kain yang sudah sangat tua umurnya. Buktinya ialah bahwa bentuk
awalnya sudah terpahat pada relief candi-candi yang menurut catatan sejarah
didirikan berabad-abad yang lalu. Walaupun bentuknya sangat sederhana, pola kawung banyak menimbulkan perbedaan
pendapat mengenai masalahnya. Kata kawung
sendiri ialah nama sejenis pohon palma yang buahnya disebut kolang-kaling, yang
berbentuk lonjong seperti motif utama. Pola kawung
menurut almarhum Hardjonagoro Go Tik Swan, seorang empu batik klasik dari kota
Sala, bermakna bahwa si pemakai pola diharapkan dapat berguna bagi orang
banyak, seperti pohon kawung, yang batangnya, daunya, sampai buahnya pun
berguna bagi manusia.
Pendapat
lain mengatakan bahwa pola Kawung
menggambarkan perekonomian desa, yang disesuaikan dengan pembagian waktu
masyarakat Jawa dan yang berazaskan gotong-royong dan kerukunan. Sejak
berabad-abad yang kelompok etnik Jawa menggunakan satuan waktu yang terdiri
dari 5 satuan hari, Legi, Pahing, Pon,
Wage dan Kliwon, yang
bersama-sama disebut sepasar. Sepasar
berasal dari kata pasar yang berarti tempat banyak orang berkumpul untuk
melakukan kegiatan jual beli. Pola yang terdiri dari 4 motif lonjong dengan
sebuah pusat di tengah-tengahnya melambangkan 5 desa yang saling berdekatan,
yang masing-masing mendapat giliran sehari dalam 5 kali untuk menjadi pasar atau
pusat berjualan hasil pertanian ke5 desa tersebut. Makna dari gaya perekonomian
semacam ini mengupayakan kerukunan dan kesejahteraan di pedesaan. Sampai
sekarang hitungan pasaran masih berlaku pada masyarakat Jawa dan pasar desa
yang digilir menurut hari pasarannya, juga masih bertahan di sebagian besar
aerah pedesaan di Jawa Tengah.
Lain
lagi pendapat orang Jawa Kuno yang mengatakan bahwa motif pola yang murni
geometris, seperti pola kawung ini,
mengandung kekuatan magis yang sangat besar. Oleh karena itu, yang dapat
memakai pola tersebut juga harus orang yang di dalam dirinya menyimpan kekuatan
berlebih, atau daya linuih dalam bahasa Jawa, agar dapat
mengimbangi kekuatan magis yang terandung dalam pola. Di samaping itu, masih
disaratkan tingkat kearifan yang tinggi, karena kekuasaan atau kekuatan yang
besar yang tidak dibarengi tingkat kearifan yang seimbang dapat menimbulkan
bencana. Demikianlah antara lain ajaran nenek moyang kita.
Sementara
itu di daerah lain yang jauh dari Keraton, masyarakat mengenal ulasan-ulasan
dari pola kawung. Salah satunya ialah
bahwa pola tersebut melambangkan kesuburan, karena dua motif silang kecil-kecil
di dalam bentuk-bentuk lonjong menyerupai biji-bji dalam buah.
2.
Cakar
Salah
satu pola yang sering dipakai dalam rangka pelaksanaan upacara adat perkawinan
Jawa ialah cakar. Apabila dilihat dengan cermat, pada lingkaran luarnya ada
guratan-guratan kecil menyerupai cakar ayam. Berkat nama pola dan lukisan cakar itulah maka pola ini banyak
dipercaya melambangkan harapan bahwa pemakainya akan pndai mencari rejeki atau
berhasil mencari kehidupan.
3.
Truntum
Sampai
kita pada truntum sebuah pola yang
sangat tua namun masih saja dicari dan dibutuhkan terutama di daerah Surakarta,
Yogyakarta dan Jwa Timur. Mereka yang memilih memakai truntum pada saat yang khusus, misalnya pernikahan, mempunyai alas
an-alasan yang erat hubungannya dengan makna pola tersebut menurut pendapat
mereka masing-masing.
Pada
umumnya, pecinta pola batik truntum mencari
maknanya melalui nama truntum.
Menurut
S. Prawiroatmodjo dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (1980), truntum berarti tumbuh. Banyak orang
mengartikan bahwa yang dimaksud dengan tumbuh ialah cinta antara kedua
pengantin, yang pada jaman dahulu memang belum mengenal pada waktu acara
pernihakan. Suatu pikiran yang romantic dan masuk akal, hanya saja yang terasa
aneh ialah bahwa pada saat acara inti acara pernikahan, pola truntum tidak dipakai oleh kedua
pengantin tetapi dipakai oleh kedua pasang orang tua mereka. Untuk tambahan
pengetahuan dapat disebut di sini, dalam bukunya “Sejarah Batik di Yogyakarta”,
(2002), A.N. Suyanto mengatakan bahwa pada malam Midodareni, yaitu malam sebelum akad nikah, kedua calon pengantin
di tempat mereka masing-masing mengenakan kain batik truntum. Terbuktilah bahwa satu pola saja dapat menimbulkan
berbagai macam pendapat, yang pada gilirannyamengakibatkan penggunaan-penggunaan
yang berbeda pula.
Ada
pula yang berpendapat bahwa kata truntum berasal
dari kata tumaruntum, yang berarti
salaing tuntun-menuntun. Dengan demikian, pola truntum mengandung harapan agar kedua pengantin akan selalu
tuntun-menuntun, bergandengan tangan sampai kaken-kaken
ninen-ninen, yang berarti sampai tua
seusia kakek dan nenek.
Pola
truntum sebenarnya melambangkan
kehidupan manusia yang mempunyai sisi gelap dan terang. Seperti bola truntum terkesan gelap, ternyata unsure
terangnya banyak sekali sehingga manciptakan paduan yang cantik dan harmonis.
Demikianlah kira-kira yang diajarkan kepada kita melalui pola tersebut, yaitu
agar kita menyikapi masa terang dan gelap dalam kehidupan dengan sewajarnya.
Karena secara keseluruhan, hidup tetap merupakan karunia Tuhan yang paling
sempurna hakiki. Pabila kita sedang mengalami saat-saat berat dlam hidup kita
maka carilah titik-titik terang, seperti bunga-bunga yang seakan-akan bersinar
pada pola truntum yang terkesan gelap.
4.
Madubranta
Pada
Madubrant, sebuah contoh lain dari pola yang sudah tua tetapi masih banyak
dipakai di daerah Surakarta dan sekitarnya. Namun pola ini diambil dari nama seorang
kumbang penghisap madu, yang melambangkan sesuatu yang manis. Menurut beberapa
Kamus Jawa-Indonesia, kata branta diartikan sebagai jatuh cinta, birahi atau
kasmaran, sehingga masyarakat umum mengartikan madubranta sebagai “manisnya
cinta”. Pesan atau harapan yang terkandung dalam pola ini ialah tentunya agar
pemakai pola tersebut merasakan manisnya cinta.
5.
Ceplok Sriwedari
Taman
Sriwedari adalah sebuah taman hiburan rakyat yang oleh Sri Susuhunan Paku
Buwana X (1893-1939) dihadiahkan kepada rakyat kota Sala. Sedemikian pentingnya
keberadaan Taman Sriwedari pada waktu itu sehingga diabadikan menjadi nama
sebuah pola batik.
6.
Gringsing Sulur
Pada
Gringsing Sulur, seluruh permukaan
dipenuhi dengan motif-motif kecil berbentuk persegi-persegi yang bertitik di
tengahnya. Motif-motif tersebut gringsing
sulur yang umum diartikan sebagai tidak sakit atau sehat, karena gring diambil dari kata gring yang berarti sakit dan sing yang berarti “tidak”. Dengan
demikian, pola ini berisi doa atau harapan agar kiata selalu dikaruniai
kesehatan dan umur panjang.
Pola
gringsing ini juga dihiasi dengan sulur-sulur tanaman yang biasanya
diartikan sebagai lambing umur atau perjalanan hidup seseorang. Ada sulur yang panjang ke atas dan ada yang
sampai setengahnya. Ada sulur yang
berbunga, ada juga yang bunganya terlihat layu. Motif bungan yang mekar
melambangkan keberhasilan-keberhasilan dan bunya yang layu melambangkan cacat
atau cela. Adapun panjang pendeknya sulur
melambangkan panjang pendeknya umur manusia. Dengan demikian pola ini
mengajarkan pada kia bahwa kesehatan, umur dan takdir manusia masing-masing
berbeda, tetapi semuanya tetap di tangan Tuhan Yang Maha Esa.
7.
Kopi Pecah
Pola
kopi pecah seluruhnya terdiri dari
motif-motif belahan biji kopi, yang di sana-sini diselingi dengan motif garuda.
Oleh karena pulau Jawa merupakan salah satu penghasil kopi yang terkenal di
dunia, maka kita semua kenal kopi. Oleh karena itu, seorang leluhur kita
memanfaatkannya untuk mengajarkan suatu prinsip yang dinilai penting kepada
anak turunnya. Seperti halnya dengan biji kopi, satu biji tidak ada artinya
atau kegunaannya bagi siapa pun. Baru bila menggenggam biji kopi dipecah-pecah
dan dihaluskan bersama-sama, orang banyak dapat merasakan kenikmatannya. Dengan
demikian, pola ini mengajarkan kepada kita bahwa ada kalanya sebagai seorang
warga Negara yang baik kita dituntut untuk meleburkan diri ke suatu yang lebih
besar guna tercapainya kepentingan umum.
Pada
pola-pola kopi pecah yang benar-benar
kuno, biasanya tidak ditaburi motif-motif Garuda. Namun, masyarakat pada waktu
itu sudah mengerti makna motif-motif pola tersebut. Pada pola inii, entah
disengaja atau tidak, produsennya menyebarkan motif-motif Garuda di antara
biji-biji kopi tersebut. Hal tersebut memperjelas makna pola. Perlu diketahui
motif Garuda dalam berbagai bentuk pada mulanya melambangkan Sang Hyang
Pencipta Alam Semesta yang kemudian menjadi Tuhan Yang Maha Esa, kemudian lagi
melambangkan Negara atau raja.
8.
Slobok Jamangan atau
Slobok Jamang
Pola
ini dinamakan Slobok Jamangan atau Slobok Jamang, karena ada beberapa
jenis slobok yang lain. Disebut jamang atau jamangan karena pada sudut-sudut segitiganya ada motif jamang atau mahkota yang melambangkan
kedudukan atau kepangkatan.
Kata
slobok sendiri tidak dapat saya
temukan di kamus-kamus Bahasa Jawa yang
ada pada saya. Walaupun demikian, pengucapannya begitu dekat dengan kata Jawa lobok yang berarti longgar. Dengan demikian,
makna pola ini adalah harapan agar pemakai kain diberi kelonggaran atau
kemudahan dalam mencapai kenaikkan pangkat, kedudukan dan kehidupan secara
umum.
9.
Blanggreng Buket
Sebuah
pola yang sering dilakukan dengan pola Kopi
Pecah adalah pola yang dinamakan Blanggreng.
Blanggreng adalah nama sejenis
makanan kecil khas Indonesia. Bahan pokoknya ialah singkong yang
dipotong-potong, dibumbi lalu digoreng. Motif-motif kecil yang memenuhi seluruh
pola ini menggambarkan penampang singkong goreng tersebut. Alasan untuk
menciptakan pola ini kurang jelas tetapi mengingat usianya yang telah begitu
tua, blanggreng ini pada waktu itu
sudah merupakan kudapan yang sangat popular bagi masyarakat kita. Pantaslah blanggreng diabadikan menjadi sebuah
pola batik.
Motif
buket mungkin hanya merupakan sisipan untuk menghalau kejenuhan sang pembatik.
Mungkin pula buket ini untuk mengatakan bahwa, sama halnya dengan sebuah buket,
blanggreng pada waktu itu juga
merupakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang penuh kesengsaraan dan penderitaan.
10.
Tambal
Sampailah
kita pada pola tambal, yang terdiri
dari bentuk-bentuk geometris yang masing-masing berisi bagian-bagian kecil dari
pola-pola yang mengandung makna. Tambal sendiri berarti menambal atau menambah
yang kurang. Yang dimaksudkan dengan kekurangan di sini ialah kekuatan hidup.
Pada halaman-halaman pertama saya kemukakan pendapat bahwa orang-orang pada
zaman kuno, termasuk orang Jawa, yakin bahwa bentuk-brntuk geometris mengandung
kekuatan magis.
Ada
berbagai pola tambal, pola yang ini
disebut Tambal Pamiluta, yang terdiri
dari bagian-bagian yang semuanya berisi motif yang berlainan. Pamiluta berarti harapan supaya dikasihi
atau disayangi, sehingga pola ini mengandung makna agar si pemakai mendapat
kasih sayang dan cinta. Pola ini tediri dari 144 bentuk geometris yang semuanya
berbeda motifnya.
11.
Sekar Jagad
Pola
yang tidak sukat ditebak maknanya melalui namanya ialah Sekar Jagad. Istilah sekar
jagad dalam bahasa Indonesia berarti bunga alam semesta, karena kata Jawa sekar berarti bunga dan kata Jawa jagad berarti alam semesta. Adapun pola
ini terdiri dari bentuk-bentuk yang tidak beraturan yang masing-masing merupakan bagian-bagian dari pola-pola yang
mengandung ajaran dan harapan akan kebahagian bagi kemanusiaan.
Sepintas
pola ini member kesan terdiri dari bentuk-bentuk tidak menentu yang disusun
secara acak. Sebenarnya tidaklah demikian. Bentuk-bentuk tersebut dalam jumlah
yang ganjil disusun menjadi sebuah kelompok dan kelompok-kelompok tersebut
digandakan dan diatur dengan rapi. Sehingga memenuhi seluruh kain. Ternyata
bahwa pola inipun menunjukan simetri. Kebanyakan dari kita berpendapat bahwa
pola Sekar Jagad ini mengandung
serangkaian ajaran yang diharapkan dapat membawa keselarasan dan keserasian di
seluruh alam semesta.
12.
Tritateja
Tirta
berarti air, dan teja berarti sinar
atu cahaya, sehingga tirtateja berarti
pelangi. Dengan demikian, pola ini antara lain melambangkan kesuburan, karena
di mana ada pelangi di situ ada air.
13. Udan Liris
Salah
satu contoh pola yang berdasarkan garis-garis miring atau lereng ialah udan liris,
yang berarti hujan gerimis. Pola ni mengingatkan kita pada jatuhnya air pada
hujan gerimis yang terkena hembusan angin. Dengan demikian, baik nama maupun
pola meambangkan kesuburan, karena di mana ada air di situ ada kesuburan.
Adapun
pada setiap bidang, motif-motifnya melambangkan sesuatu yang baik. Jumlah
bidang selalu berjumlah ganjil, misalnya tujuh atau sebelas. Mengapa tujuh?
Tujuh dalam bahasa Jawa ialah pitu.
Akhirnya –tu mengingatkan kita pada
kata tulung dan pitulung yang berarti pertolongan. Sebelas adalah sewelas dalam bahasa Jawa, dan welas berarti belas kasihan dalam bahsa
Indonesia. Ternyata bahwa sikap menolong dan berbelas kasihankepada mereka yang
membutuhkan sudah sejak dahula kala diajarkan kepada kita.
14.
Glebag Anggrek
Pola
ini merupakan sebuah pola lereng yang
juga indah, tetapi agak lain bila dibandingkan dengan pola lereng lainnya. Pola ini banyak juga beredar di pasaran, tetapi
banyak yang tidak tahu namanya yang sebenarnya singkat saja, yaitu glebag. Glebag itu dapat diartikan kebalikan seratus delapan puluh derjat
dari sesuatu. Pada pola udan liris,
kita lihat ada bermacam-macam motif yang mengisi bidang-bidangnya. Pada pola glebag ini hanya ada dua macam motif,
yang sangat berbeda. Mungkin itulah yang dimaksudkan dengan kata glebag, yaitu adanya dua hal yang sangat
berbeda. Pola ini mengajarkan bahwa perpaduan dua hal atau unsure yang sangat
berbeda sekalipun dapat menghasilkan sesuatu yang sungguh indah dan serasi
apabila diatur dengan seksama, hati-hti dan penuh perasaan. Keadaan ini dapat
berlaku pada perkawinan dua orang yang sangat berbeda tabiat dan keadaannya,
dpat pula terjadi pada dua atau beberapa partai politik dalam satu pemerinahan
dan masih banyak perumpamaan yang lain. Adapun glebag itu ada bermacam-macam. Glebag
ini dinamakan glebag anggrek karena
salah satu dari motif yang diisikan dalam bidang tersebut adlah motig anggrek.
15.
Parang Rusak
Setelah
selesai membicarakan pola-pola lereng,
sudah sepantasnya kita mengetengahkan pola-pola parang, karena kedua jenis / kelompok pola tersebut dasarnya adalah
sama, ialah bidang-bidang sempit yang disusun miring. Hanya itu yang sama. Pada
pola-pola lereng, udan liris misalnya,
bidang-bidangnya berisi motif-motif yang berlain-lainan. Pada pola parang, bidang-bidangnya semuanya sama,
tetapi yang paling membedakan lereng
dengan parang adanya sebuah lajur
yang sangat sempit di antara setiap dua bidang. Lajur sempit itu berisi
serangkaian motif-motif mlinjon, yang
dahulu kala diyakini orang mengandung banyak kekuatan magis. Dasar peikirannya
ialah bahwa rangkaian mlinjon tersebut
diperkirakan dapat menambah kekuatan doa atau harapan yang terkandung dalam
pola tersebut. Adapun jenis-jenis parang
ada banyak sekali jumlahnya, yang paling terkenal ialah yang dinamakan Parang Rusak. Di kalangan masyarakat
pecinta batik, banyak beredar teori atau pendapat mengenai asal muasal pola parang tersebut. Banyak pula yang
tercantum dalam buku-buku mengenai batik, baik yang berasal dari penulis asing
maupun penulis kita sendiri.
Di
dalam buku yang berjudul “de Islandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie”
(1916) misalnya, G.E. Jasper dan Mas Pirngadi menuliskan dugaan mereka bahwa
nama Parang Rusak berasal dari kata
Sumatra Utara plang rusa yang berarti
padang yang penuh dengan tanduk rusa, yang akhirnya menjadi parang rusak. Menurut kedua penulis
tersebut, ada bagian dari motif pokok yang mempunyai tanduk rusa. Dalam buku
tersebut, mereka juga mengemukakan pendapat orang lain, ada yang mengatakan
bahwa pencipta pola parang rusak
tersebut ialah sultan agung, yang begitu terkesan dengan keindahan pantai Laut
Selatan dengan karang-karangnya yang rusak. Seorang penulis lain, Sewan Susanto
dalam bukunya “Seni Kerajinan Batik Indonesia”, (1980) menulis bahwa kata prang berarti sebuah senjata tajam dan
kata rusak menunjuk pada tidak
teraturnya motif parang pada pola.
Ada kelompok lain yang menafsirkan parang
rusak sebagai senjata untuk merusak hal-hal yang batil. Itulah beberapa contoh dari sekian pendapat mengenai parang rusak yang beredar di tengah
masyarakat. Belum lagi pendapat-pendapat para pembaca.
Pada
pola parang rusak, jelas kita
saksikan garis-garis berlekuk-lekuk yang melambangkan garis pantai yang terdiri
dari batu-batu karang yang menjadi cekung karena digerogoti air laut. Walaupun
garis-garis tersebut jelas mengandung arti, yang lebih penting ialah rangkaian mlinjon yang dilukiskan di tengah-tengah
kedua bintang berlekuk tersebut, yang benyak mengandung kekuatan magis dan yang
memperkuat doa dan harapan. Adapun di antara dua rangkaian mlinjon terdapat motif-motif yang menyerupai sebilah keris. Menurut
pandangan Jawa, keras dapat mewakili pribadi pemiliknya. Sampai sekarang pun
keris dapat menjadi wakil pengantin
laki-laki Jawa yang berhalangan hadir pada upacara pernikahannya. Dalam
pola parang rusak, motif keris
melambangkan raja, karena kebetulan yang membuat pola itu adalah raja. Sehingga
pantaslah kalau pada mulanya pola ini hanya diperuntukan bagi raja.
16.
Parang Rusak Sri
Sadono
Perlu
diketahui bahwa parang rusak dibuat
dalam bermacam-macam ukuran. Pola ini dinamakan parang rusak sri sadono, yang diciptakan oleh Hardjonagoro setelah
seorang keponakannya, yaitu Sri Sadono, sembuh dari penyakit yang gawat. Pola
ini memperlihatkan berbagai macam ukuran parang
rusak. Dari yang terbesar, yang dinamakan barong, berukuran 20cm, sampai ke klithik, yang berarti kecil, yang kadang-kadang dibuat dengan
ukuran 1cm.
Kelengkapan
kata barong adalah singa barong, sebutan orang Jawa bagi
singa, yang diakui sebagai penguasa hutan. Kata barong dalam pola tersebut melambangkan bahwa pola tersebut hanya
diperuntukan untuk raja yang merupakan penguasa masyarakat manusia. Dapat
dimengerti bahwa pada zaman dahulu pola parang
rusak barong hany dipakai oleh raja. Setelah diciptakannya pola parang rusak, banyak pola parang lain yang menyusul, masing-masing
berisi motif-motif khas yang mengandung bermacam-macam makna. Namun, walaupun
semua parang berbeda makna, ada
unsurnya yang sama yaitu semua ada garis mlinjo-nya.
Berikut ini ada beberapa contoh pola parang.
17. Parang Kusuma
Pola
ini dinamakan parang kusuma. Kusuma berarti
bunga, dan memang polanya kita dapat melihat motif-motif kecl yang menyerupai
bunga. Pada umumnya orang mengartikan makna pola ini sebagai harapan agar si
pemakai pola tersebut akan menjadi bunga, dalam arti sebagai yang terbaik atau
yang menjadi nomer satu dalam bidangnya tau lingkungannya.
18.
Parang Pari Sauli
Bahwa
sebuah pola klasik pun juga dapat mengalami perkembangan dapat kita saksikan
pada pola parang pari sauli. Pada
pola aslinya dapat dilihat dengan jelas tangki-tangki penuh butiran-butiran
padi yang melambangkan rezeki atau kemakmuran. Pada pola perkembangan ini ada
yang menambahkan lukisan-lukisan bunga kanthil yang melambangkan agar rezeki
atau kemakmuran akan selalu terlekat pada si pemakai pola ini. Adapun kelekatan
di lambangkan oleh motif-motif kanthil.
19. Gandasuli
Contoh
lain dari pola parang adalah gandasuli. Walaupun pola ini benar-benar
sebuah pola parang, kata parang-nya hampir tidak pernah disebut.
Pada polanya kita sasikan adanya motif-motif kecil berwarna putih, menyerupai
sebuah bunga kecil berwarna putih yang berbau harum. Nama bunga tersebut ialah
suli. Adapun kata ganda berarti bau.
Jadi, abik melalui nama ataupun polanya, kita dapat menarik kesimpuan bahwa
makna pola ini ialah harapan agar si pemakai pola akan harum namanya.
20. Parang Curiga
Contoh
pola parang terakhir dalam buku ini
adalah parang curiga. Curiga berarti
keras, pisau, senjata atau pusaka. Sayang bahwa pola ini sudah tidak banyak
beredar di pasaran, mungkin orang agak ngeri dengan kata curiga yang mengandung pengertian tajam dan berbahaya. Padahal pola
ini melambangkan senjata untuk melawan hal-hal yang tidak kita inginkan.
21.
Mugi Rahayu
Orang-orang
kuno benar-benar percaya bahwa rangkaian mlinjon
yang dilukis dengan tangan sarat dengan kekuatan magis. Salah satu buktinya
dapat kita lihat pada pola mugi rahayu
ini. Kami saksikan pada pola ini ada yang aneh atau unik, dalam arti sebuah
pola yang dasarnya bukan pola lereng namun
diperlengkapi dengan rangkaian mlinjon.
Kain
tersebut milik almarhumah ibu saya yang telah wafat delapan tahun yang lalu
pada usia 95 tahun. Pada usia 12 tahun, saya berkesempatan untuk bertemu dengan
seorang bibi ibu saya , yang membatik kain yang kita bicarakan ini. Pada waktu
itu, beliau berkunjung ke rumah orang tua saya. Saya tanyakan ke-pada beliau
mengapa motif-motif garuda yang begitu indah dilanggar oleh garis-garis miring
tersebut. Saya tanyakan pula mengapa garis-garis miring tersebut tidak dilukis
terlebih dahulu, baru kemudian dtambah dengan motif-motif garuda. Keterangan
beliau sungguh mencengangkan. Pola yang dinamakan mugi rahayu itu memang tidak ada garis-garis miringnya. Nama dan
pola kain sudah mengandung harapan semoga pemakai akan selalu sehat, selamat
dan bahagia. Demikianlah kira-kira terjemahan kata mugi rahayu dalam Bahasa Indonesia. Lalu mengapa ada tambahan
rangkaian mlinjon-nya? Supaya
menambah kekuatan magis pada kain tersebut. Baru puluhan tahun kemudian saya
memahami makna jawaban tersebut.
Pada
waktu itu tahun 1924, ibu saya yang berumur 16 tahun akan meninggalkan kota
asalnya, Madiun, untuk melanjutkan pelajaran di kota Semarang. Pada zaman itu,
jarak antara kota Madiun dengan Semarang masih terasa cukup jauh, sehingga
nenek perlu membekali putrinya dengan doa selamat yang permanen dalam bentuk
sehelai kain batik dengan pola yang dinamakan mugi rahay. Polanya sendiri yang penuh dengan motif-motif besar,
sedang maupun kecil sudah melambangkan harapan dan doa selamat. Namun, nenek
masih ingin memperkuat harapan tersebut dengan tambahan rangkaian mlinjon, walaupun tambahan tersebut
menyalahi kaidah-kaidah perpolaan. Mungkin hanya suatu kebetulan, mungkin juga
pengaruh makna pola, tetapi ada yang dapat saya ceritakan di sini, bahwa ibu
dan seorang kakaknya yang juga mendapat sehelai mugi rahayu yang ada rangkaian mlinjon-nya,
kedua-duanya dikaruniai usia yang panjang dan hidup yang penuh karahayon.
22.
Sidamukti, Sidaluhur
dan Sidamulya
Mengapa
saya kumpulkan ketiga pola tersebut dalam satu kelompok? Karena, baik nama
maupun polanya, ketiga-tiganya mengandung kesamaan. Ketiga-tiganya berbentuk
dasar belah ketupat, sebuah bentuk geometris, dan di dalamnya ada motif-motif
non geometris. Ketiga [ola ini merupakan bentuk campuran antara bentuk
geometris dan non geometris. Nama-namanya pun mengandung kesamaan. Ketiganya
mulai dengan sida, yaitu sidamukti, sidaluhur dan sidamulya.
Unsur yang sama telah kita ketahui, yaitu penggalan
nama sida yang berarti ‘menjadi’ atau
‘akhirnya menjadi’. Unsure yang jelas membedakan ketiga pola ini terdapat pada
bagian akhir nama, yaitu mukti, luhur dan
mulya. Motif-motif pada ketiga pola
tersebut juga banyak kesamaannya, yaitu terdiri atas motif-motif sayap, burung
atau kupu dan bangunan kecil, yang kadang-kadang diartikan sebagai tempat
semedi. Kadang-kadang juga diartikan sebagai joli, yaitu tempat untuk mengusung pengantin perempuan.
Yang
berbeda pada ketiga pola ini adalah cara pengisian bidang-bidan kosongnya. Sebagaimana
sudah kita ketahui sering kali bidang kosong di antara motif-motif utama diberi
isian yang disebut isen-ise, yang
berupa motif-motif yang kecil. Isen-isen yang
memenuhi pola sidamukti ialah ukel. Sebagaimana telah diterangkan di
muka, bahwa ukel itu melambangkan
kekuatan hidup, sehingga di samping
nyata-nyata berisi harapan untuk menjadi mukti
, pola sidamukti itu juga penuh dengan lambang kekuatan hidup.
Adapun kata mukti sendiri, lebih mudah mengartikannya apabila
ditambah kata wibawa di belakangnya
dan menjadi mukti wibawa,sebuah
istilah Jawa yang mengarahkan pikiran kitapada kedudukan, kepangkatan,
kehormatan dan kekuasaan yang sering kali menjadi peluang pengumpulan kekayaan.
Pada
pola sidaluhur, motif-motif utamanya
hampir sama dengan pola sidamukti,
tetapi bidang-bidang kosongnya diisi dengan motif ranting yang di dalam bahasa
Jawa disebut lung-lungan, yang
mengajarkan kepada kita untuk selalu tulung-tinulung,
yang bahasa Indonesianya adalah saling tolong-menolong.
Dari
namanya kita dapat menyimpulkan bahwa pola ini mengandung harapan bahwa
pemakainya nanti akan menjadi luhur. Walaupun kata luhur sering kita baca atau
dengar, sama dengan mukti, kata luhur
sangat sulit diterangkan artinya dengan singkat dan sederhana. Lagi-lagi, kata
luhur pun perlu bilai-nilai luhur. Nah, saya yakin bahwa tanpa penjelasan lebih
lanjut para pembaca tentu dapat merasakan apa yang dimaksudkan dengan luhur. Sidamulya ialah pola ketiga dari
kelompok pola sida. Berdasarkan
namanya, pesan yang terkandung dalam pola ini tentu saja ialah semoga pemakai
pola ini akan mencapai kemuliaan nantinya. Tinggal mengartikan kata mulya saja.
Justru itulah pekerjaan yang tidak mudah.
Menurut
berbagai macam kamus bahasa Jawa dan penjelasan teman-teman ahli bahasa Jawa,
mulya berarti dihormati, bahagia, tinggi martabatnya dan luhur budi pekertinya.
Atas dasar keterangan di atas dan ditambah dengan warna dasar putih yang
menurut saya member kesan kosong dan bersih, pola sidamulya ini berisi harapan semoga pemakai pola ini akan mendapat
hidup bahagia dan bebas dari segala keinginan.
23.
Semen Rama
Ada lagi pola yang perlu kita ketengahkan di sini. Semen Rama, demikian pola ini dinamakan.
Sampai hari ini, pola ini masih cukup banyak beredar di pasaran, namun
sebenarnya masyarakat pemakai banyak yang tidak tahu dengan sungguh-sungguh
akan maknanya. Orang merasa tertarik pada keindahan pola tersebut kadang-kadang
tanpa mengetahui namanya. Yang tahupun tidak semua mengerti akan artinya
apalagi mengerti akan maknanya. Sayapun
sudah sejak remaja menyukai pola ini, walaupun belum dapat menangkap
maknanya. Saya tahu bahwa nama pola tersebut adalah rama dan bahwa kata di depan rama
menunjuk pada kelompok pola tersebut, yaitu kelompok semen. Sebagaimana sudah diterangkan di muka, pola-pola dari
kelompok semen banyak mengandung
motif-motif kecil yang menyerupai semi, yang
berarti tanaman-tanaman yang baru tumbuh yang melambangkan kekuatan hidup.
Kita lihat pada gambar bahwa Semen Rama memang banyak berisi semi-semi
atau semen, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pola ini setidak-tidaknya melambangkan sekumpulan kekuatan
hidup. Adapun kata Rama menunjukkan pada tokoh utama dalam Epos Ramayana.
Kebetulan sekali saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat menghayati
cerita-cerita wayang. Dengan demikian, saya tahu bahwa Rama atau Ramawijaya,
demikian nama lengkapnya, merupakan tokoh keteladanan dalam Bahasa Jawa. Itulah
sebabnya saya merasa tertantang untuk mencari ajaran atau pesan apa kiranya
yang terkandung dalam pola tersebut.
Untunglah saya akhirnya menemukan beberapa buah buku
mengenai batik, antara lain yang ditulis oleh Sewan Susanto (1980) dan Kalinggo
Hanggopuro (2002), yang mengutamakan teori mereka bahwa pesan yang terkandung
dalam pola semen rama adalah Hastha Brata, suatu ajaran kepemimpinan
Jawa. Adapun Hastha Brata tersebut
dikarang oleh Yasadipura I, pujangga Karaton Surakarta Hadiningrat pada masa
pemerintahan Ingkang Sinuhun Paku Buwana III. Di situ diajarkan bahwa ada
delapan (hastha) sifat utama yang
harus ada pada seseorang raja yang baik. Delapan sifat tersebut dan raja yang
menjadi subjek memang dilambangkan dalam pola tersebut oleh 9 motif utama.
Berikut ini saya kutipkan intisari sifat-sifat utama tersebut menurut beberapa
teman ahli bahasa Jawa, lengkap dengan penyebutan motif lambangnya.
1.
Memberi kemakmuran
kepada kawula, sambil melindungi dan memelihara keindahan bumi. Dilambangkan oleh motif pohon kehidupan.
2.
Menjadi pengemban
keadilan yang sejati. Dilambangkan oleh motif gunung atau Meru.
3.
Menunjukkan
keteguhan sikap, sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat
setengah-setengah. Dilambangkan oleh motif seekor burung Garuda.
4.
Memberikan
ketenangan dan ketentraman kepada para kawula. Dilambangkan oleh motif
binatang, pada pola ini seekor kijang.
5.
Berwatak luhur dan
tidak menyalahgunakan kekuasaan. Dilambangkan oleh motif burung.
6.
Mengutamakan
peningkatan taraf kehidupan rakyat. Dilambangkan oleh motif binatang.
7.
Berhati lapang,
mudahmemaafkan dan penuh belas kasihan. Dilambangkan oleh motif naga.
8.
Memiliki kemampuan
untuk memberantas angkara murka dan melindungi yang lemah. Dilambangkan oleh
motif “lidah api”.
9.
Adapun Raja yang
menjadi subjek Hasta-Brata dilambangkan oleh motif Dampar.
Adapun pola Semen
Rama diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana IV sekitar tahun
1787-1816 (Honggopuro, 2002).
Dengan demikian, kita saksikan bahwa motif-motif utama
yang disebut oleh para penulis tersebut memang terdapat pada pola Semen Rama, dan oleh mereka motif-motif
tersebut diperkirakan melambangkan sifat-sifat yang diajarkan di dalam Hastha Brata. Lalu mengapa pola ini
dinamakan Rama? Oleh karena tidak
semua pembaca mengenal cerita-cerita wayang, maka memang diperlukan sedikit
penjelasan.
Pola ini dinamakan Rama
oleh karena Rama Wijaya, nama lengkap Rama, mengajarkan Hastha Brata tersebut kepada dua orang
calon raja sebelum menaiki tahta yang dipercayakan kepada mereka. Pertama-tama
ajaran tersebut disampaikan kepada Brata, saudara muda Rama yang untuk
sementara mewakili Rama sebagai raja di Pancawati. Untuk kedua kalinya Rama
mengajarkan kepada Wibisana yang menaiki tahta Alengka setelah Rahwana,
kakandanya, tewas di tangan Rama. Untunglah cara untuk menemukan makna sebuah
pola batik klasik tidak selalu demikian panjang, ada banyak pula yang sangat
mudah ditebak.
24.
Pisan Bali
Kebanyakan pola yang kita bicarakan di sini adalah
pola-pola yang muda ditebak maknanya, tetapi secara jujur saya akui bahwa ada
juga yang lumayan sukar untuk menemukannya. Salah satunya ialah pola yang dapat
kita lihat pada gambar 30.
Ada yang istimewa pada pola ini, kerena mengenai namanya
saja ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pola ini bernama Pisang bali, mungkin karena motif
utamanya menyerupai daun pisang yang berjuntaian ke bawah. Pendapat kedua, di
antaranya Hardjonagoro, menamakan pola ini Pisan
Bali, karena ia melihat kesamaan makna antara pola batik Pisan Bali dengan sebuah gendhing kehormatan yang dinamakan Pisan Bali. Pisan Bali ini diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan sekali,
lalu diulang berkali-kali, karena kata pisan
berarti satu kali dan kata bali berarti
lagi. Apa sebetulnya yang dilakukan sekali dan berkali-kali? Tidak lain dan
tidak bukan ialah doa keselamatan dan kedamaian, yang tertuang baik di dalam
rangkaian nada gending Pisan Bali maupun dalam pola batik dengan nama yang
sama. Pola ini terdiri dari motif-motif, baik utama maupun tambahan, yang
selalu diulang-ulang kembali, dan yang melambangkan doa atau harapan akan
keselamatan dan kebahagiaan. Dengan berulang-ulang melukiskan lambang-lambang
ke dalam pola, diharapkan terciptalah suasana yang diinginkan.
25.
Cuwiri Mentul
Sebuah pola yang masih banyak dipakai. Ada yang
mengartikan cuwiri sebagai nama
burung, yang memang ada dalam pola ini. Tetapi kebanyakan orang mencari
maknanya dari asal kata cuwiri, dari
kata Jawa cuwer yang berarti banyak
airnya, atau cuwir kalau airnya
banyak. Pendapat ini didukung oleh banyaknya deretan puncak gunung yang
melambangkan kesuburan. Kata mentul diperkirakan
diambila dari kata cundhuk mentul,
yaitu hiasan khas pada sanggul pengantin perempuan Jawa. Di seluruh pola bertebaran
lukisan-lukisan menyerupai cundhuk mentul
tersebut, sehingga pola ini melambangkan kasuburan dan kemakmuran.
26.
Srikaton
Pola Srikaton juga
dapat kita gali maknanya baik melalui nama maupun polanya. Namanya Srikaton, yang dalam bahasa Indonesia
berarti “Sri” yang kelihatan, karena katon
berarti kelihatan, atau ada. Motif-motif tangkai dengan bulir-bulir padi
mengarahkan pikiran kita kepada Dewi Sri, dewi yang melambangkan kesuburan dan
kemakmuran. Sri juga dapat melambangkan raja, dibuktikan oleh Gendhing Srikaton yang selalu mengiringi
langkah-langkah penguasa karaton Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Paku
Buwana, pada waktu beliau memasuki bangsal Sasana Sewaka. Adapun motif-motif
sayap melambangkan “Sri” yang tertinggi, yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha
Kuasa. Pola ini rupa-rupanya mengajarkan bahwa seyogyanya kepercayaan akan
ketiga macam pengertian “Sri” tadi selalu harus hadir dalam diri kita agar
tercapailah kesejahteraan, baik rohani maupun jasmani.
27.
Wahyu Tumurun
Selanjutnya pembaca akan saya ajak untuk mengenali
contoh-contoh pola yang banyak diminati karena sebagian besar masyarakat kenal
namanya dan merasa tahu akan maknanya. Yang sangat terkenal di antara pola-pola
tersebut ialah Wahyu Tumurun.
Nama pola bararti karunia yang turun dari “Atas”. Yang
dimaksud dengan “Atas” tentulah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Tahulah kita
sekarang mengapa Wahyu Tumurun begitu
banyak dapat dinamakan klasik karena belum seabad umurnya. Tetapi karena begitu
banyak peminatnya, saya bicarakan juga dalam buku ini. Berikut adalah cerita
lahirnya Wahyu Tumurun, yang
disampaikan kepada saya oleh seorang kawan akrab yaitu almarhumah RA. Hilmiyah
Darmawan Pancawala, seorang bangsawan Mangkunegara.
Pada tahun 1930, demikian kisah dimulai, RA Setya dari
kalangan istana Mangkunegara inigin menciptakan sebuah pola batik yang
melambangkan sesuatu yang umum atau dasar sehingga dapat digunakan oleh semua
orang. Setelah selesai, pola tersebut dinamakan Kukila Wibawa, yang berarti burung yang berwibawa. Memang ada motif
burung dalam pola tersebut, tapi dari namanya orang tidak dapat menebak makna
yang ada di belakangnya. Dan memang
demikianlah kenyataannya. Ketika mulai dipasarkan, tidak ada tanggapan dari
masyarakat, dan Kukila Wibawa dilupakan
orang. Lalu kira-kira 30 tahun kemudia, seorang bangsawan lain dari
Mangkunegara, R.U. Surahmat Suryodipura, menemukan pola yang sudah terlupakan
tersebut. Rupa-rupanya ia dapat membaca pesan yang terkandung dalam pola itu
dan merasa sayang apabila masyarakat tidak memperoleh kemanfaatannya. Untuk
itu, pola yang sama tersebut diberi nama baru, nama yang jelas-jelas menyatakan
apa yang terkandung dalam polanya, yaitu harapan akan rahmat Tuhan. Apa yang
terjadi setelah pola yang sebelumnya tidak disukai itu diberi nama baru yang
sesuai dengan maknanya?
Benar tebakan para pembaca. Begitu pola yang
diperkenalkan kembali dengan nama baru, yaitu Wahyu Tumurun, masyarakat menyambutnya dengan positif. Segera saja Wahyu Tumurun menjadi sangat terkenal
dan banyak diminati sampai sekarang. Akhirnya tercapailah keinginan RA. Setya,
pencipta pola, bahwa ia mampu menyusun pola yang melambangkan harapan dasar
manusia, karena tidaka ada yang lebih dasar daripada harapan akan turunnya
rahmat Tuhan. Walaupun kebanyakan peminat pola ini sudah puas dengan makna di
balik namanya, ada juga yang mencoba mencarinya pada pola, motif mana yang
melambangkan turunnya wahyu. Menurut pendapat banyak orang, motif awan itulah
yang melambangkan asal Wahyu. Tetapi pasti ada pembaca yang mempunyai pendapat
lain.
28.
Alas-alasan
Pola Alas-alasan juga
mudah ditebak maknanya melalui nama dan motif-motifnya. Nama alas-alasan
berasala dari kata Jawa alas yang
berarti: hutan dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, alas-alasan berarti hutan-hutanan atau seperti hutan. Pada pola ini
terdapat banyak motif binatang, mulai dari yang sangat besar yaitu gajah sampai
dengan serangga, binatang yang sangat kecil,. Pola ini benar-benar kuno, sangat
indah dan berisi pelajaran yang penting sekali bagi kita semua. Sayang bahwa
pola ini tidak begitu dikanal oleh generasi muda sekarang, padahal pola ini
mengandung ajaran yang berharga, yang berlaku untuk selamanya. Bila kita amati
pola ini dan kita hubungkan dengan namanya, kita segera tahu bahwa pola
tersebut menggambarkan masyarakat hutan dengan segala macam huniannya. Kita
lihat begitu banyak binatang, dari yang sangat besar sampai dengan yang sangt
kecil, ada yang buas ada yang jinak, ada yang terbang ada juga yang merayap,
dan masih banyak lagi. Jelaslah bahwa pola Alas-alasan
ini melambangkan keadaan pada masyarakat kita yang penuh dengan manusia
yang pada hakikatnya memiliki sifat-sifat yang sama dengan masyarakat penghuni
hutan. Bedanya adalah penghuni hutan tidak dapat menyamai manusia, sedangkan
masyarakat manusia mungkin saja menyamai binatang dalam perilakuny, bahkan
dapat melebihinya. Pelajaran yang dapat kita ambil dari pola ini ialah bahwa
diperlukan sikap arif dan bijaksana untuk dapat hidup dengan tenang, aman dan
bahagia di dalam masyarakat yang penuh dengan berbagai tantangan.
29.
Bondhet
Pola Bondhet pasti
juga mengandung suatu pesan yang berguna bagi kita semua. Untuk mengetahuinya
kita dapat mencoba mempelajari nama dan motif-motif pada polanya. banyak di
antara kita mencari asal kata bondhet dari
kata bundhet yang mengandung arti:
terjalinnya dua unsur menjadi satu dengan demikian eratnya sehingga sulit
dilepaskan kembali. Dari segi motif, dalam pola ini terdapat sejenis mahkluk
khayalan di antara motif-motif utamanya, yaitu seekor burung yang berkepala
naga. Menurut sya, motif tersebut melambangkan leburnya dua insan, seorang
laki-laki dan perempuan, menjadi satu dalam ikatan perkawinan. Keluar, sepasang
suami istri seyogyanya bersikap dan berpendapat satu, yang dilambangkan sebelah
kaki burung yang terikat. Ke dalam, sebaiknya kedua-duanya memilki kepribadian
mereka sendiri-sendiri. Hal tersebut dilambangkan oleh kaki burung yang tidak
terikat.
30.
Kanthil
Gambar 36 memperlihatkan satu contoh pola lagi, yang dari
motif-motif maupun namanya mudah ditebak maknanya, yaitu pola kanthil. Kanthil ialah nama sebuah bunga
yang berwarna putih kekuning-kuningan dengan bau wangi yang sangat khas. Adapun
kata Jawa kanthil berartiterlekat
dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itulah, sejak dahulukala bunga kanthil pada
masyarakat Jawa dikenal sebagai lambang keterletakan sesuatu pada sesuatu yang
lain. Salah satu buktinya masih dapat kita saksikan sampai hari ini pada
hiasan-hiasan bunga sanggul pengantin perempuan Jawa dan keris pengantin
laki-laki. Di sisi kanan sanggul dipasangi untaian bunga melati yang menjuntai
ke bawah sampai sebatas dada, yang dikunci dengan bunga-bunga kanthil. Hiasan
bunga kanthil pada pengantin Jawa melambangkan terletaknya suami istri dalam
perkawinan. Pada perkembangan selanjutnya, keterlekatan tersebut juga
melambangkan hubungan antara atasan dengan bawahan misalnya.
31.
Trenggiling Menthik
Trenggiling
Menthik merupkan sebuah pola ceplok, yang juga kuno dan masih sangat
terkenal sampai hari ini. Trenggiling ialah nama seekor binatang kerat dan menthik berarti kecil sekali. Pada pola
ini, motif yang mengisi bentukan-bentukan geometris pola ini bukanlah penampang
bunga, buah atau bintang, tapi seekor trenggiling kecil dalam posisi melingkar.
Pola ini melambangkan yang kecil pun dapat bermanfaat.
Daftar Pustaka
ACHJADI, J. (Ed), 1999, Batik: Spirit of Indonesia, Yayasan Batik Indonesia, Jawa Barat.
Anggraeni, J., 2010, “Bangsa Ini Telah Mengalami
Tsunami Budaya” dalam Majalah Femina,
PT Gaya Favorit Press, Jakarta.
Anonim, “Kisah Sehelai Batik”, Bonus Majalah Femina Edisi Tahunan 2010.
Anonim, 1999, Majalah
Batik Indonesia Sekar Jagad Nomor 1/Tahun I – Agustus 1999, Yogyakarta.
Anonim, 2000, Majalah
Batik Indonesia Sekar Jagad Nomor 3/Tahun I – Oktober 2000, Yogyakarta.
Anonim, 2001, Majalah
Batik Indonesia Sekar Jagad Nomor 5/Tahun II – November 2001, Yogyakarta.
Asikin, S., 2008, Ungkapan Batik di Semarang: Motif Batik Semarang 16, Cipta Prima
Nusantara Semarang, Semarang.
Atmojo, H., 2008, Batik Tulis Tradisional Kauman, Solo: Pesona Budaya nan Eksotik, Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Solo.
Condronegoro, M.S., 1995, Busana Adat Kraton Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama,
Yogyakarta.
Djoemena, N.S., 1990, Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning,, Djambatan,
Jakarta.
Djumena, N.S., 1990, Batik dan Mitra, Djambatan, Jakarta.
Doellah, S., 2002, Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungannya, Danar Hadi, Surakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)