Selasa, 19 Maret 2013

makalah Batik



 == karya == SAMODRA KHARISMA AJI S

1.      Pengantar­

SETELAH mengalami masa suram yang cukup panjang, batik kembali merajai dunia busana tanah air kita. Semua usia pada segala lapisan masyarakat, semuanya berpakaian batik. Yang semakin membanggakan ialah bahwa sejak 2 Oktober  2009, UNESCO menetapkan batik sebagai salah satu warisan budaya dunia. Sayangnya, pengakuan dunia tersebut tidak disertai dngan pemahaman masyarakat Indoneia sendiri sebagai  negara asal batik bahwa batik ternyata mempunyai makna. Secara umum, seseorang jatuh cinta kepada sehelai kain batik hanya karena tyamplan luarnya, tanpa memahami makna apa yang ada di balik sehelai kain batik tersebut.
Selembar kain batik tulis merupakan sebuah hasil karya seni terpadu yang indah dan unik, yang menjadikannya bagian dari warisan leluhur, yang sangat kita banggakan. Keunikannya bagian dari warisan leluhur, yang sangat kita banggakan. Keunukannya sudah dimulai dengan kata batik itu sendiri. Kata yang begitu singkat, yang menurut lafal aslinya seharusnya diucapkan sebagai bathik, ternyata memiliki begitu banyak segi, yang masing-masing serba unik.
Dari segi artinya, membatik ialah melukis di atas sehelai mori, dengan sebuah  alat khusus yang disebut chanthing, yang telah diisi dengan cairan lilin panas. Melukis dengan cara tersebut di atas cukup unik, namun masih banyak lagi segi-segi pada batik yang menimbulkan kekaguman, misalnya: proses yang harus diberlakukan pada sepotong bahan sebelum dapat dilukis dan sesudahnya.
Motif-motif yang dilukispun mempunyai bentuk-bentuk dan gaya yang khas, yang jelas membedakan kain batik dengan kain bergambar lainnya. Semua motif tersebut disusun menjadi sebuah lukisan yang utuh, yang memenuhi seluruh lebar kain, yang selanjutnya saya sebut pola.
Setelah seorang pembatik selesai dengan membuat pola pada selembar kain mori, maka bahan tersebut masih harus   diproses lagi oleh para pengrajin batik. Misalnya dengan memberi  pewarnaan, untuk akhirnya dpat dipakai sebagai bagian dari busana tradisional masyarakat Jawa pada abad-abad yang lalu.
Dapat dimengerti bahwa segala sesuatui mengenai batik dan kain batik merpakan sumber inspirasi bagi para pecinta batik yang berbakat menulis. Tidak terhitung banyaknya buku mengenai batik, baik yang dihasilkan oleh penulis bangsa kita sendiri, maupun penulis bangsa asing. Namun dapat dipastikan bahwa dari semua buku tersebut tidak ada yang sama isinya. Masing-masing penulis membahas segi yang paling menarik perhatiannya,yang sesuai dengan kepentingan atau latar belakang pendidikannya. Dan ada lagi hal yang membedakan warna buku yang satu dengan yang lainnya, yaitu pandangan penulis  terhadap objeknya. Jelasnya, buku yang ditulis oleh seseorang yang memandang kain batik sebagai hasil karya seni misalnya akan lain sama sekali isinya dengan buku karangan penulis yang memandang kain batik  sebagai sebuah komoditi. Walaupun menyadari banyaknya buku tentang batik yang sudah ada di pasaran, saya memberanikan diri untuk menambahnya dengan satu buah lagi. Bukan cara membatik yang dijadikan fokus, bukan pula cara pewarnaan atau proses pendahuluan dan penyelesaian kain batiknya. Yang akan saya ketengahkan di dalam buku tersebut adalah apa yang yang dilukis oleh para pembatik, yaitu polanya, serta makna yang dikandungnya.
Bagi almarhum Iwan Tirta, seorang empu batik yang belum lama berselang meninggal dunia, batik tidak saja indah dan unik, tetapi juga agung. Dalam majalah Femina no.23/XXXVIII halaman 44, ada cuplikan pendapatnya yang saya kutip di sini. “Keagungan batik terletak pada proses panjangnya,yaitu sejarah, tradisi dan filosofi. Jadi, bukan asal mengecap dan mencetak.” Dan sejalan degan apa yang diutarakan oleh almarhum Iwan Tirta tersebut, yang akan ditulis dalam buku ialah apa yang dilukis, dicap dan dicetak tersebut.
Sebenarnya pola, yang merupakan bagian dari kain batik, tidak kalah uniknya dari kain batik itu sendiri, karena pola-pola tersebut mengandung pesan. Adapun pesan itu pada umumnya ajaran etik atau moral, yang mengarah kepada kebahagiaan dan kesejahteraaan manusia, baik lahir maupun batin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola itu tidak hanya indah dipandang mata, tetapi juga indah dalam makna. Dapat dimengerti bahwa sampai pada pertengahan abad yang lalu, kain batik menduduki tempat yang penting dalam kehiduan masyarakat Jawa, baik secara spiritual maupun material.
Nama dan garis besar makna pola merupakan pengetahuan umum pada zaman itu, terutama bagi para perempuan. Pada waktu para perempuan kita kebanyakkan masih buta aksara, mereka mampu mewariskan nilai-nilai etik dan moral tersebut kepada anak-anak didik mereka, melalui dongeng.  Saying bahwa lembaga mendongeng sudah tidak dapat kita temukan lagi sekarang ini di dalam khasanah budaya kita. Salah satu akibatnya  ialah bahwa masyarakat sekarang tidak mengeal lagi makna pola pada selembar kain batik. Ditambah adanya gejala umum untuk mengutamakan “yang tersurat” di atas “yang tersirat”, yang juga berlaku pada sikap masyarakat terhadap pola batik.
Hal tersebut dibuktikan dengan meluasnya pemberitaan dan pengetahuan masyarakat mengenai kain batik dalam segala bentuk konkritnya. Termasuk misalnya bagaimana cara membatiknya serta  jenis-jenis pewarnaannya. Sebaliknya pengenalan serta pemahaman masyarakat akan segi abstrak kain batik, yaitu maknanya, hampir-hampir tidak terdengar beritanya. Sangatlah mungkin bahwa Negara jiran yang telah mendapatkan hak paten atas beberapa pola batik kita, juga hanya mengenali segi-segi konkritnya saja. Semoga dengan demikian, masih beruntunglah kita karena segi abstraknya masih tetap menjadi milik kita. Namun demikian, amat disayangkan bahwa sebagian besar di antara kita tidak menyadari keberuntungan tersebut. Keadan ini sangat memprihatinkan, karena segi abstrak kain batik klasik mengandung nilai-nilai spiritual masyarakat kita. Kenyataan inilah yang menjadi latar belakang keinginan saya untuk menyusun tulisan ini.

PENGERTIAN TENTANG POLA BATIK KLASIK
Yang disebut pola batik ialah keseluruhan motif batik yang dibatikan pada sehelai kain mori, yang telah disusun menjadi sebuah hasil karya seni yang indah. Pada dasarnya setiap pembatik dapat membuat pola batik sendiri, sesuai dengan selera dan maksud hatinya. Kenyataan ini sudah berlangsung sejak masyarakat kita mengenal batik sampai hari ini.
Dapt dipahami bahwa jumlah pola batik ini tidak terhitung banyaknya. Namun, diantara pola-pola tersebut ada yang bersifat khusus, yaitu: pola-pola yang bermakna. Pola-pola jenis ini memiliki beberapa keunikan, yaitu:
1.                  Motif-motifnya merupakan lambang, yang semuanya mengarah pada tujuan yang baik atau benar. Beberapa contoh motif merupakan lambang:
a.       Motif sayap burung, atau lar dalam bahasa Jawa, yang sering sekali menghiasi pola-pola batik klasik. Dalam bentuknya yang paling sederhana, yaitu satu sayap, atau dua sayap, yang saling berhadapan menjadi satu, motif tersebut sealu melambangkan: kekuatan, kekuasaan dan kesaktian.
Tetapi, lar tersebut sering sekali dikembangkan, misalnya, dengan menambahkan ekor di tengah kedua sayap, kemudian ditambah lagi dengan lukisan kepala. Kadang-kadang kepala burung, tetapi kadang-kadang pula kepala seekor naga. Motif-motif perkembngan tersebut, yang lalu dinamakan Garuda, tidak saja melambangkan kekuatan, kekuasaan dan kesaktian, melainkan terutama: sumber segala kekuasaan alam semesta, Sang Hyang Pencipta Agung, atau dalam bahasa agamis kemudian disebut: Tuhan Yang Maha Esa. Namun, dengan siring perkembangan zaman, ada pergeseran makna pada motif sayap ini. Pada zaman sekarang, motif ini diartikan sebagai kekuatan atau kekuasaan yang bersifat duniawi, yang mengacu pada sosok raja, presiden, kepala pemerintahan, kepala negara, pejabat negara, negara itu sendiri dan lain sebagainya.
b.      Motif puncak gunung atau Meru : yang secara tidak langsung melambangkan kesuburan. Di mana ada gunung, di situ juga ada hujan,dan di mana ada hujan di situ juga ada kesuburan. Kesuburan di sini memiliki makna yang sangat luas, meliputi kesuburan pada tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia atau masyarakat. Kesuburan pada manusia atau masyarakat berarti keberhasilan, kesejahteraan, kemakmuran dan lain sebagainya.
2.                  Pola-pola tersebut berisi atau mengandung pesan-pesan pencipta pola. Adapun pesan-pesan tersebut kebanyakan terdiri dari ajaran-ajaran hidup termasuk di dalamnya aturan-aturan moral. Ada yang berisi doa keselamatan dan harapan akan kebahagiaan, ada pula yang berisi penolak bala. Di antaranya juga ada yang diciptakan khusus untuk memperingati suatu peristiwa yang dipandang penting pada waktu itu. Pendek kata, pola-pola batik yang bermakna tersebut bersama-sama merupakan ungkapan rasa dan jalan pemikiran masyarakat Jawa, yang latar belakang sejarahnya begitu kaya akan keanekaragaman budaya.
3.                  Pola-pola tersebut selalu diberi nama oleh penciptanya. Bagi para empu batik, faham Barat yang mengatakan What is in a name atau Apalah arti sebuah nama tidak berlaku pada pola batik. Seringkali nama pola justru penuh arti. Bahkan, seringkali nama pola sudah ada dalam pemikiran sang pencipta sebelum polanya sendiri tersusun.
Ada sejumlah pola yang mendukung pendapat saya. Salah satunya adalah pola yang dinamakan Kembang Bangah atau Bunga Bangah dalam bahasa Indonesia. Pada tahun 1984, pola ini diciptakan oleh Hardjonagoro Go Tik Swan, untuk mengungkapkan rasa masygul dan prihatinnya terhadap keadaan masyarakat dan negara pada waktu itu. Kembang atau bunga Bangah, yang tumbuh di comberan dan berbau busuk, melambangkan dirinya. Sebagai rakyat biasa, ia hidup di tingkat bawah; dan bau bunga yang busuk mengibaratkan suaranya yang sumbang terhadap pemerintah. Itulah yang sering diceritakan kepada saya.
Pada masa lalu, para seniman Jawa terbiasa untuk mengemas protes mereka terhadap penguasa dalam ciptaan mereka. Contohnya ialah Ranggawarsita dengan Kalatidha-nya, Gesang dengan lagunya yang berjudul Caping Gunung dan Rahardjonagoro dengan Kembang Bangah-nya. Pendapat ini juga saya temukan pada buku “Jawa Sejati”, karangan Rustopo dan buku “Batik Indonesia & Sang Empu: Go Tik Swan Panembahan Rahardjonagoro” karangan Neneng Iskandar.
Untuk selebihnya nama pola tidak saja membedakan pola satu dengan lainnya, melainkan juga merupakan kemasan inti dari apa yang ingin dipresentasikan pleh penciptanya. Dengan kata lain, nama adalah ringkasan pesan dan pola penjabarannya, yang diungkapkan melalui motif-motifnya. Jelaslah sekarang, bahwa untuk dapat mengerti makna yang ada di balik sebuah pola sedikit-sdikitnya kita perlu mengetahui namanya.
Artinya, walaupun makna pola kadang-kadang sukar digali dari motif-motifnya, makna dapat ditemukan melalui namanya. Untunglah tidaksemua pola sukar untuk dicari keterangannya. Banyak juga yang mudah sekali ditebak maknanya. Andaikata pun ada pola yang begitu sulit diartikan atau begitu tidak masuk akal, hal tersebut hanyalah disebabkan karena kita lah yang tidak atau belum menguasai bahasa lambang. Paahal bahasa tersebut, seperti bahasa-bahsa lain di dunia,dapat saja dipelajari asal ada kemauan. Yang penting untuk diingat ialah bahwa pola-pola yang bermakna pasti bukanlah motif-motif yang dibuat secara serampangan atau asal-asalan sebagai ungkapan perasaan sesaat. Dapat diyakini bahwa para empu pencipta pola batik yang bermakna telah mengarahkan dan memadukan seluruh kemampuan budaya mereka untuk menuangkan apa yang ingin mereka pesankan ke dalam pola yang indah yang terdiri dari sekumpulan lambang.
Cara orang Jawa untuk tidak mengatakan secara jelas dan gamblang sesuatu yang justru sangat penting dan bermanfaat, acap kali menimbulkan rasa geli gregetan mereka yang non-Jawa. Mereka katakana bahwa orang Jawa gemar membuat sulit hal-hal yang sebetulnya mudah, atau dalam bahasa Jawanya: Nek bisa angel,kena apa kok digawe gampang!  
            Penulis buku ini, yang orang Jawa, hanya dapat berkilah bahwa orang Jawa kuna memang terbiasa untuk menyampaikan pesan-pesan penting melalui lambang. Mungkin saja supaya pesan-pesan tersebut lebih diperhatikan. Sebenarnya, di samping pola-pola batik ada contoh lain dari kegemaran orang-orang Jawa kuna tersebut, yaitu cara menulis angka-angka tahun yang penting dalam sejarah bangsa kita. Mereka tidak menulisnya dengan angka-angka, tetapi ringkas apa yang terjadi dalam tahun tersebut. Salah satu contoh yang dapat ditemukan dalam buku Sarining Kasusastraan Jawa, karangan Subalidhinata RS, ialah Sirna Ilang Kataning Bumi. Untuk dapat menemukan angka tahun dari kalimat tersebut perlu diketahui bahwa setiap kata melambangkan angka. Adapun sirna yang berarti hilang melambangkan angka 0, demikian pula kata ilang yang berarti hilang menjadi lambang dari angk 0. Sedangkan karta yang berarti sejahtera, aman dan tertata melambangkan angka 4. Dan bumi yang berarti bumi, kerajaan atau tanah melambangkan angka 1. Untuk mendapatkan angka tahun, caranya adalah dengan menyusun angka-angka dari belakang ke depan, sehingga di sini kita dapatkan tahun 1400. Adapaun arti lengkap dari Sirna Ilang Kataning Bumi adalah bahwa pada tahun 1400 terjadi hancurnya kraton Majapahit. Seni menggunakan lambang untuk angka tahun tersebut dalam kesusastraan Jawa dikenal dengan istilah Candrasengkala. Nah, ternyata ada yang lebih sukar daripada mencari makna pola batik bukan klasik.
Pada beberapa dasawarsa yang lalu, ada kebiasaan yang berlaku pada tingkat masyarakat menengah ke atas untuk membekali pengantin perempuan dengan kain-kain batik dengan pola-pola tertentu. Kain-kain tersebut sudah dipersiapkan pembuatannya jauh sebelum si gadis dilamar orang. Apabila ada gadis meningkat dewasa, ibu dan keluarga dekat lainnya mulai sibuk membatik atau memesan pada seseorang pembatik ntuk membuatkan kain-kain yang pola-polanya mengandung di dalam berbagai ajaran hidup, doa-doa keselamatan dan penolak bala, yang akan dibawakan kepada anak tercinta bila nati muai membina keluarga baru. Pada waktu itu, kai batik masih merupakan bagian yang mutlak bagi kehidupan masyarakat Jawa. Hal tersebut berlaku untuk semua lapisan masyarakat, baik laki=laki maupun perempuan, semua umur dan semua kesempatan. Konon, dahulu kala kain batik dimanfaatkan manusia samapai kain itu tidak tersisa, karena kain yang sudah usang pun masih bias digunakan untuk popok bayi. Dengan kata lain, kain batik selalu menemani manusia pada semua tahapan dalam hidupnya, sejak ia dilahirkan sampai mentup mata. Di samping itu, kain batik juga merupakan sumber kekuatan spiritual masyarakat.
Bukti bahwa pola batik diyakini mengandung muatan spiritual atau makna, ialah kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku sampai hari ini di kalangan orang Jawa, bhwa pada peristiwa penting dalam hidup ereka, mereka selalu ingin memakai kain batik dengan pola tertentu. Misalnya saja, begitu ada seseorang  dari suku Jawa meninggal, di mana pun pada waktu itu ia berada, pasti jenazahnya segera ditutupi dengan sehelai kain batik dengan pola yang bermakna. Ternyatalah bawha untuk “perjalanan terakhirpun” seseorang masih dibekali dengan doa-doa selamat atau harapan-harapan bahagia di alam yang abadi nanti.
Malahan dulu pada waktu orang membatik untuk memenuhi kebutuhan mereka sendirida orang-orang yang mereka kasihi, pada waktu itu orang yakin bahwa kain batik mengandung kekuatan magis. Hal tersebut mudah dimengerti karena biasanya pada waktu membatik, yang membatik berpuasa atau menjalani pantangan-pantangan tertentu. Lagipula,  sambil menggerak-gerakkan canthing yang berisi lilin panas di atas kain mori, si pembatik memusatkan pikirannya pada pesan-pesan yang ingin ia sampaikan melalui pola tersebut. Jelaslah bawhwa saat ini, hampir tidak lagi dapat ditemukan kain batik tulis yang mengandung kekuatan magis, walau polanya bermakna sekalipun, dan pembatiknya sangat ahli dan terampil. Masalahnya pembatik sekaran pada umumnya hanya berupaya menyelesaikan pekerjaan sebaik-baiknya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya agar mereka dapat memulai pekerjaan baru. Dengan kata lain, pembuatan batik tidak lagi dibarengi dengan olah batin apapun. Beruntunglah mereka yang masih memiliki kain batik warisan, terutama buatan kerabat sendiri. Pada jaman dahulu sempat dikenal istilah menyembuh kain, berasal dari kata Jawa nyembuh. Maksud pemilik dalah mencerahkan kembali warna-warna kain batik yang sudah mulai pudar karena waktu, agar supaya kain yang berkekuatan magis tersebut masih dapat digunakan lebih lama. Untuk tidak mengecilkan hati para calon kolektor kain batik, perlu dijelaskan walaupun kain batik buatan jaman sekarang hampir tidak ada lagi yang berkekuatan magis, poola-pola tersebut tetap mengandung makna. Bahkan, pola-pola yang dibuat dengan cap sekalipun mengandung makna yang sama. Memang jenis mutu kain berbeda, teknik penggambaran pada kain pun tidak sama.
Ada batik tulis, pola dilukis dengan tangan, peralatan chanthing, dan pada batik cap pula dicapkan pada kain mori. Namun perbedaan tersebut tidak mengurangi mkna pola, apalagi menghilangkannya. Kain batik cap jelas jauh lebih murah harganya daripada batik tulis karena sebagian besar kerja tangan diganti dengan cap. Tetapi hal tersebut tidaklah berarti bahwa batik cap tidak memiliki nilai seni. Pembuatan cap yang dibuat dari tembaga harus dilakukan oleh pengerajin tembaga yang ahli dalam bidangnya bersama-sama dengan seorang ahli pola. Batik cap mungkin sekali lahir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang sangat mengapresiasi pola-pola batik yang bermakna tetapi kurang kuat keuangannya. Dengan demikian, sumber kebudayaan spiritual yang diwariskan oleh para leluhur kita, yang disembunyikan dengan canggih di dalam pola-pola batik, dapat juga terjangkau oleh mereka yang percaya dan ingin memilkinya tetapi tidak mampu membeli kain batik tulis.
Sepasang pengantin dari kalangan berbeda misalnya, yang mengadakan resepsi pernikahan mereka di sebuah hotel mewah, mungkin sekali memakai pola batik yang sama dengan sepasang pengantin lain, yang mengundang tamu-tamu mereka di sebuah ruang kecil dan sangat sederhana, di sebuah lorong sempit dan becek.perbedaannya terletak pada kualitas kain dan pembuatan pola, pertama dibuat dengan tangan, sedangkan yang kedua dibuat dengan cap. Walaupun kualitas kain batik yang dikenakan berbeda, tetapi kedua pasang pengantin tersebut merasakan ketenangan batin yang sama, karena mereka disertai dengan doa selamat, yang dilambangkan dalam pola batik yang sama pula.
Selain contoh tersebut di atas, masih banyak kebiasaan-kebiasaan lain yang membuktikan bahwa pola-pola batik ternyata masih menduduki tempat yang penting dalam kehidupan spiritual masyarakat kita. Kenyataan ini tentu membesarkan hati pecinta pola batik. Tetapi hendaklah disadari bahwa kebiasaan sekuat apapun dapat saja melemah atau hilang sam sekali apabila tidak disadari dengan pengertian tentang mengapa kebiasaan tersebut perlu dipertahankan. Untuk itulah maka pola perlu diperkenalkan, karena yang dikatakan pepatah Barat “Tak kenal  maka tak disayang” dapat disaksikan kebenarannya melalui sikap masyarakat kita.
Jumlah pola batik tidak terhitung jumlahnya. Beberapa ratus diantaranya bisa disebut pola-pola batik klasik. Yang dimaksudkan dengan istilah tersebut ialah pola-pola batik yang sudah berusia puluhan, bahkan ratusan tahun, tanpa mengalami perubahan. Itu tidak berarti bahwa pola klasik tidak bisa mengalami perkembangan. Mungkin saja kemudian ada gaya melukis motif yang berbeda. Bahkan mungkin pula ada motif yang ditambahkan. Justru untuk menambah makna. Tetapi belum pernah saya menjumpai atau mendengar ada motif yang dikurangi. Untuk selanjutnya pola yang telah mengalami perubahan tersebut saya sebut pola perkembangan. Bahkan maknanya pun mungkin berubah-ubah sedikit, tidak hanya pengaruh waktu, melainkan terutama karena unsure subjektivitas para pemakai.

PENGGOLONGAN POLA BATIK KLASIK
Pada umumnya banyak penulis dan peneliti pola batik membagi pola-pola batik ke dalam dua golongan besar, yaitu golongan geometris dan golongan non geometris.
I.       Golongan geometris atau bentuk-bentuk ilmu ukur.
Pada golongan ini, motif-motifnya terdiri dari bentuk-bentuk ilmu ukur, yang dimulai dari titik, menjadi garis, lingkaran, segitiga dan lain sebagainya. Susunannya pun memperlihatkan garis-garis vertikal, horizontal dan diagonal.
Contoh dari pola diametris:
a.      Kelompok pada Lereng atau Parang
Pada kelompok Lereng, polanya terdiri dari lajur-lajur atau bidang-bidang yang sempit, yang berisi motif-motif yang berbeda-beda , dan yang ditata secara diagonal. Salah satu contohnya ialah Rujak Senthe.
b.      Kelompok pola Ceplok
Adapun kelompok Ceplok, motif-motif utamanya berbentuk penampang-penampang bunga, buah, biji dan binatang. Juga sering berupa bintang, lingkaran, bujur sangkar dan lain-lain bentukan ilmu ukur. Motif-motif itulah yang dalam bahasa batik disebut  ceplok. Adapun ceplok-ceplok itupun disusun secara vertikal, horizontal dan diagonal. Salah satu contohnya ialah Wirasat.
II.    Golongan non-geometris
Motif-motif yang menghiasi pola-pola non-geometris, terutama terdiri dari: flora, fauna, bangunan-bangunan dan sayap dalam berbagai bentuk dan benda-benda alam. Contohnya ialah Kakrasana.
Pembagian menjadi 2 golongan tersebut tidak berarti bahwa ada pembagian yang tegas di antara keduanya. Banyak sekali pola-pola geometris yang mengandung unsur-unsur non geometris, dan demikian pula sebaliknya.
1.               PENGERTIAN TENTANG SEMEN DAN ISEN-ISEN
Perlu saya ingatkan bahwa pembagian pola menjadi pola-pola geometris dan non geometris hanya dikenal di kalangan peneliti dan penulis pola batik. Masyarakat umum menggunakan istilah semen bagi pola non geometris. Mengapa demikian?
Karena pola-pola tersebut selalu mengandung semen, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Adapun yang disebut semen ialah berbagai macam motif berukuran kecil, yang merupakan motif tambahan pada pola-pola batik. Sesuai dengan namanya, ialah Semen, yang berasal dari kata Jawa semi, yang berarti tumbuh, semua motif Semen selalu menggambarkan sesuatu yang tumbuh atau hidup. Oleh karena itu, motif Semen selalu berupa ranting, daun atau bunga. Mudah dimengerti bahwa motif-motif Semen melambangkan kekuatan hidup.
Motif Semen yang paling sering kita jumpai pada pola-pola batik klasik ialah ranting-ranting muda yang berdaun, atau kadang-kadang juga berbunga. Motif tersebut dinamakan lung-lungan, sebuah kata Jawa yang berarti ranting muda. Tetapi kata yang sama juga berarti saling memberi, dengan tangan. Terbukti bahwa saling memberi atau saling membantu merupakan salah satu cirri khas bangsa kita. Di samping melambangkan sumber kekuatan hidup, pola-pola Semen juga mengandung ajaran hidup dan moral, yang dilambangkan oleh motif-motif utamanya, sama halnya dengan pola-pola geometris.
Masih ada lagi sesuatu hal mengenai pola yang perlu diketahui oleh para pecinta pola batik, yaitu isen-isen. Isen-isen berasal dari kata Jawa isi yang juga brarti isi dalam bahasa Indonesia. Isen-isen berarti “isi” yang banyak. Ukurannya kecil, jeisnya ada puluhan dan fungsinya ganda. Kadang-kadang isen-isen dimaksudkan untuk menghidupkan atau mempercantik motif-motif utama.
Sering pula isen-isen itu dilukis untuk mengisi bagian-bagian pola yang kosong. Ada pula isen-isen yang melambangkan sesuatu, seperti misalnya yang disebut ukel, yang bentuknya antara lain seperti:                . Mungkin karena bentuknya menyerupai tunas tanaman pakis, maka, ukel  juga melambangkan kekuatan hidup. Ada lagi jenis isen-isen yang pantas dikenali, yaitu yang dinamakan mlijon, yang berbentuk             . Menurut kepercayaan masyarakat Jawa Kuno, motif mlinjon yang dibuat dengan chanthing, artinya dibathik dengan tangan, sarat dengan kekuatan magis, karena para pembatik pada waktu itu, yang suka berpantangan dan berpuasa, terbiasa untuk memasukkan kekuatan batin dalam karya mereka.
Pada pola-pola Lereng, yaitu pola-pola yang terdiri dari lajur-lajur yang diagonal, adal sekelompok besar yang di antara lajur-lajurnya disisipi rangkaian mlinjon. Kelompok itulah yang disebut  kelompok Parang, kelompok pola yang pada jaman dahulu sangat favorit, karena diyakini penuh dengan kekuatan magis.

2.      Makna Pola Batik Klasik
              
            KEINDAHAN yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan, kita sebut sebagai keindahan visual, dan keindahan spiritual atau makna ialah pesan atau ajaran para leluhur pencipta pola, yang disampaikan melalui motif-motif besar  maupun kecil, yang masing-masing merupakan lambing, yang disusun menjadi pola yang indah. Marilah kita mulai berkenalan dengan makna dari beberapa pola batik klasik yang masih sering kita jumpai.
1.             Kawung
Kawung merupakan sebuah pola kain yang sudah sangat tua umurnya. Buktinya ialah bahwa bentuk awalnya sudah terpahat pada relief candi-candi yang menurut catatan sejarah didirikan berabad-abad yang lalu. Walaupun bentuknya sangat sederhana, pola kawung banyak menimbulkan perbedaan pendapat mengenai masalahnya. Kata kawung sendiri ialah nama sejenis pohon palma yang buahnya disebut kolang-kaling, yang berbentuk lonjong seperti motif utama. Pola kawung menurut almarhum Hardjonagoro Go Tik Swan, seorang empu batik klasik dari kota Sala, bermakna bahwa si pemakai pola diharapkan dapat berguna bagi orang banyak, seperti pohon kawung, yang batangnya, daunya, sampai buahnya pun berguna bagi manusia.
Pendapat lain mengatakan bahwa pola Kawung menggambarkan perekonomian desa, yang disesuaikan dengan pembagian waktu masyarakat Jawa dan yang berazaskan gotong-royong dan kerukunan. Sejak berabad-abad yang kelompok etnik Jawa menggunakan satuan waktu yang terdiri dari 5 satuan hari, Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon, yang bersama-sama disebut sepasar. Sepasar berasal dari kata pasar yang berarti tempat banyak orang berkumpul untuk melakukan kegiatan jual beli. Pola yang terdiri dari 4 motif lonjong dengan sebuah pusat di tengah-tengahnya melambangkan 5 desa yang saling berdekatan, yang masing-masing mendapat giliran sehari dalam 5 kali untuk menjadi pasar atau pusat berjualan hasil pertanian ke5 desa tersebut. Makna dari gaya perekonomian semacam ini mengupayakan kerukunan dan kesejahteraan di pedesaan. Sampai sekarang hitungan pasaran masih berlaku pada masyarakat Jawa dan pasar desa yang digilir menurut hari pasarannya, juga masih bertahan di sebagian besar aerah pedesaan di Jawa Tengah.
Lain lagi pendapat orang Jawa Kuno yang mengatakan bahwa motif pola yang murni geometris, seperti pola kawung ini, mengandung kekuatan magis yang sangat besar. Oleh karena itu, yang dapat memakai pola tersebut juga harus orang yang di dalam dirinya menyimpan kekuatan berlebih, atau daya  linuih dalam bahasa Jawa, agar dapat mengimbangi kekuatan magis yang terandung dalam pola. Di samaping itu, masih disaratkan tingkat kearifan yang tinggi, karena kekuasaan atau kekuatan yang besar yang tidak dibarengi tingkat kearifan yang seimbang dapat menimbulkan bencana. Demikianlah antara lain ajaran nenek moyang kita.
Sementara itu di daerah lain yang jauh dari Keraton, masyarakat mengenal ulasan-ulasan dari pola kawung. Salah satunya ialah bahwa pola tersebut melambangkan kesuburan, karena dua motif silang kecil-kecil di dalam bentuk-bentuk lonjong menyerupai biji-bji dalam buah.
2.             Cakar
Salah satu pola yang sering dipakai dalam rangka pelaksanaan upacara adat perkawinan Jawa  ialah cakar. Apabila dilihat dengan cermat, pada lingkaran luarnya ada guratan-guratan kecil menyerupai cakar ayam. Berkat nama pola dan lukisan cakar itulah maka pola ini banyak dipercaya melambangkan harapan bahwa pemakainya akan pndai mencari rejeki atau berhasil mencari kehidupan. 
3.             Truntum
Sampai kita pada truntum sebuah pola yang sangat tua namun masih saja dicari dan dibutuhkan terutama di daerah Surakarta, Yogyakarta dan Jwa Timur. Mereka yang memilih memakai truntum pada saat yang khusus, misalnya pernikahan, mempunyai alas an-alasan yang erat hubungannya dengan makna pola tersebut menurut pendapat mereka masing-masing.
Pada umumnya, pecinta pola batik truntum mencari maknanya melalui nama truntum.
Menurut S. Prawiroatmodjo dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (1980), truntum berarti tumbuh. Banyak orang mengartikan bahwa yang dimaksud dengan tumbuh ialah cinta antara kedua pengantin, yang pada jaman dahulu memang belum mengenal pada waktu acara pernihakan. Suatu pikiran yang romantic dan masuk akal, hanya saja yang terasa aneh ialah bahwa pada saat acara inti acara pernikahan, pola truntum tidak dipakai oleh kedua pengantin tetapi dipakai oleh kedua pasang orang tua mereka. Untuk tambahan pengetahuan dapat disebut di sini, dalam bukunya “Sejarah Batik di Yogyakarta”, (2002), A.N. Suyanto mengatakan bahwa pada malam Midodareni, yaitu malam sebelum akad nikah, kedua calon pengantin di tempat mereka masing-masing mengenakan kain batik truntum. Terbuktilah bahwa satu pola saja dapat menimbulkan berbagai macam pendapat, yang pada gilirannyamengakibatkan penggunaan-penggunaan yang berbeda pula.
Ada pula yang berpendapat bahwa kata truntum berasal dari kata tumaruntum, yang berarti salaing tuntun-menuntun. Dengan demikian, pola truntum mengandung harapan agar kedua pengantin akan selalu tuntun-menuntun, bergandengan tangan sampai kaken-kaken ninen-ninen, yang berarti sampai tua seusia kakek dan nenek.
Pola truntum sebenarnya melambangkan kehidupan manusia yang mempunyai sisi gelap dan terang. Seperti bola truntum terkesan gelap, ternyata unsure terangnya banyak sekali sehingga manciptakan paduan yang cantik dan harmonis. Demikianlah kira-kira yang diajarkan kepada kita melalui pola tersebut, yaitu agar kita menyikapi masa terang dan gelap dalam kehidupan dengan sewajarnya. Karena secara keseluruhan, hidup tetap merupakan karunia Tuhan yang paling sempurna hakiki. Pabila kita sedang mengalami saat-saat berat dlam hidup kita maka carilah titik-titik terang, seperti bunga-bunga yang seakan-akan bersinar pada pola truntum yang terkesan gelap.
4.             Madubranta
Pada Madubrant, sebuah contoh lain dari pola yang sudah tua tetapi masih banyak dipakai di daerah Surakarta dan sekitarnya. Namun pola ini diambil dari nama seorang kumbang penghisap madu, yang melambangkan sesuatu yang manis. Menurut beberapa Kamus Jawa-Indonesia, kata branta diartikan sebagai jatuh cinta, birahi atau kasmaran, sehingga masyarakat umum mengartikan madubranta  sebagai “manisnya cinta”. Pesan atau harapan yang terkandung dalam pola ini ialah tentunya agar pemakai pola tersebut merasakan manisnya cinta.
5.            Ceplok Sriwedari
Taman Sriwedari adalah sebuah taman hiburan rakyat yang oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X (1893-1939) dihadiahkan kepada rakyat kota Sala. Sedemikian pentingnya keberadaan Taman Sriwedari pada waktu itu sehingga diabadikan menjadi nama sebuah pola batik.
6.            Gringsing Sulur
Pada Gringsing Sulur, seluruh permukaan dipenuhi dengan motif-motif kecil berbentuk persegi-persegi yang bertitik di tengahnya. Motif-motif tersebut gringsing sulur yang umum diartikan sebagai tidak sakit atau sehat, karena gring diambil dari kata gring yang berarti sakit dan sing yang berarti “tidak”. Dengan demikian, pola ini berisi doa atau harapan agar kiata selalu dikaruniai kesehatan dan umur panjang. 
Pola gringsing ini juga dihiasi dengan sulur-sulur tanaman yang biasanya diartikan sebagai lambing umur atau perjalanan hidup seseorang. Ada sulur yang panjang ke atas dan ada yang sampai setengahnya. Ada sulur yang berbunga, ada juga yang bunganya terlihat layu. Motif bungan yang mekar melambangkan keberhasilan-keberhasilan dan bunya yang layu melambangkan cacat atau cela. Adapun panjang pendeknya sulur melambangkan panjang pendeknya umur manusia. Dengan demikian pola ini mengajarkan pada kia bahwa kesehatan, umur dan takdir manusia masing-masing berbeda, tetapi semuanya tetap di tangan Tuhan Yang Maha Esa.

7.            Kopi Pecah
Pola kopi pecah seluruhnya terdiri dari motif-motif belahan biji kopi, yang di sana-sini diselingi dengan motif garuda. Oleh karena pulau Jawa merupakan salah satu penghasil kopi yang terkenal di dunia, maka kita semua kenal kopi. Oleh karena itu, seorang leluhur kita memanfaatkannya untuk mengajarkan suatu prinsip yang dinilai penting kepada anak turunnya. Seperti halnya dengan biji kopi, satu biji tidak ada artinya atau kegunaannya bagi siapa pun. Baru bila menggenggam biji kopi dipecah-pecah dan dihaluskan bersama-sama, orang banyak dapat merasakan kenikmatannya. Dengan demikian, pola ini mengajarkan kepada kita bahwa ada kalanya sebagai seorang warga Negara yang baik kita dituntut untuk meleburkan diri ke suatu yang lebih besar guna tercapainya kepentingan umum.
Pada pola-pola kopi pecah yang benar-benar kuno, biasanya tidak ditaburi motif-motif Garuda. Namun, masyarakat pada waktu itu sudah mengerti makna motif-motif pola tersebut. Pada pola inii, entah disengaja atau tidak, produsennya menyebarkan motif-motif Garuda di antara biji-biji kopi tersebut. Hal tersebut memperjelas makna pola. Perlu diketahui motif Garuda dalam berbagai bentuk pada mulanya melambangkan Sang Hyang Pencipta Alam Semesta yang kemudian menjadi Tuhan Yang Maha Esa, kemudian lagi melambangkan Negara atau raja.
8.            Slobok Jamangan atau Slobok Jamang
Pola ini dinamakan Slobok Jamangan atau Slobok Jamang, karena ada beberapa jenis slobok yang lain. Disebut jamang atau jamangan karena pada sudut-sudut segitiganya ada motif jamang atau mahkota yang melambangkan kedudukan atau kepangkatan.
Kata slobok sendiri tidak dapat saya temukan di kamus-kamus Bahasa  Jawa yang ada pada saya. Walaupun demikian, pengucapannya begitu dekat dengan kata Jawa lobok yang berarti longgar. Dengan demikian, makna pola ini adalah harapan agar pemakai kain diberi kelonggaran atau kemudahan dalam mencapai kenaikkan pangkat, kedudukan dan kehidupan secara umum.
9.            Blanggreng Buket
Sebuah pola yang sering dilakukan dengan pola Kopi Pecah adalah pola yang dinamakan Blanggreng. Blanggreng adalah nama sejenis makanan kecil khas Indonesia. Bahan pokoknya ialah singkong yang dipotong-potong, dibumbi lalu digoreng. Motif-motif kecil yang memenuhi seluruh pola ini menggambarkan penampang singkong goreng tersebut. Alasan untuk menciptakan pola ini kurang jelas tetapi mengingat usianya yang telah begitu tua, blanggreng ini pada waktu itu sudah merupakan kudapan yang sangat popular bagi masyarakat kita. Pantaslah blanggreng diabadikan menjadi sebuah pola batik.
Motif buket mungkin hanya merupakan sisipan untuk menghalau kejenuhan sang pembatik. Mungkin pula buket ini untuk mengatakan bahwa, sama halnya dengan sebuah buket, blanggreng pada waktu itu juga merupakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang penuh kesengsaraan dan penderitaan.
10.        Tambal
Sampailah kita pada pola tambal, yang terdiri dari bentuk-bentuk geometris yang masing-masing berisi bagian-bagian kecil dari pola-pola yang mengandung makna. Tambal sendiri berarti menambal atau menambah yang kurang. Yang dimaksudkan dengan kekurangan di sini ialah kekuatan hidup. Pada halaman-halaman pertama saya kemukakan pendapat bahwa orang-orang pada zaman kuno, termasuk orang Jawa, yakin bahwa bentuk-brntuk geometris mengandung kekuatan magis.
Ada berbagai pola tambal, pola yang ini disebut Tambal Pamiluta, yang terdiri dari bagian-bagian yang semuanya berisi motif yang berlainan. Pamiluta berarti harapan supaya dikasihi atau disayangi, sehingga pola ini mengandung makna agar si pemakai mendapat kasih sayang dan cinta. Pola ini tediri dari 144 bentuk geometris yang semuanya berbeda motifnya.
11.        Sekar Jagad
Pola yang tidak sukat ditebak maknanya melalui namanya ialah Sekar Jagad. Istilah sekar jagad dalam bahasa Indonesia berarti bunga alam semesta, karena kata Jawa sekar berarti bunga dan kata Jawa jagad berarti alam semesta. Adapun pola ini terdiri dari bentuk-bentuk yang tidak beraturan yang masing-masing  merupakan bagian-bagian dari pola-pola yang mengandung ajaran dan harapan akan kebahagian bagi kemanusiaan.
Sepintas pola ini member kesan terdiri dari bentuk-bentuk tidak menentu yang disusun secara acak. Sebenarnya tidaklah demikian. Bentuk-bentuk tersebut dalam jumlah yang ganjil disusun menjadi sebuah kelompok dan kelompok-kelompok tersebut digandakan dan diatur dengan rapi. Sehingga memenuhi seluruh kain. Ternyata bahwa pola inipun menunjukan simetri. Kebanyakan dari kita berpendapat bahwa pola Sekar Jagad ini mengandung serangkaian ajaran yang diharapkan dapat membawa keselarasan dan keserasian di seluruh alam semesta.
12.        Tritateja
Tirta berarti air, dan teja berarti sinar atu cahaya, sehingga tirtateja berarti pelangi. Dengan demikian, pola ini antara lain melambangkan kesuburan, karena di mana ada pelangi di situ ada air.

13.       Udan Liris
Salah satu contoh pola yang berdasarkan garis-garis miring atau lereng ialah udan liris, yang berarti hujan gerimis. Pola ni mengingatkan kita pada jatuhnya air pada hujan gerimis yang terkena hembusan angin. Dengan demikian, baik nama maupun pola meambangkan kesuburan, karena di mana ada air di situ ada kesuburan.
Adapun pada setiap bidang, motif-motifnya melambangkan sesuatu yang baik. Jumlah bidang selalu berjumlah ganjil, misalnya tujuh atau sebelas. Mengapa tujuh? Tujuh dalam bahasa Jawa ialah pitu. Akhirnya –tu mengingatkan kita pada kata tulung dan pitulung yang berarti pertolongan. Sebelas adalah sewelas dalam bahasa Jawa, dan welas berarti belas kasihan dalam bahsa Indonesia. Ternyata bahwa sikap menolong dan berbelas kasihankepada mereka yang membutuhkan sudah sejak dahula kala diajarkan kepada kita.
14.        Glebag Anggrek
Pola ini merupakan sebuah pola lereng yang juga indah, tetapi agak lain bila dibandingkan dengan pola lereng lainnya. Pola ini banyak juga beredar di pasaran, tetapi banyak yang tidak tahu namanya yang sebenarnya singkat saja, yaitu glebag. Glebag itu dapat diartikan kebalikan seratus delapan puluh derjat dari sesuatu. Pada pola udan liris, kita lihat ada bermacam-macam motif yang mengisi bidang-bidangnya. Pada pola glebag ini hanya ada dua macam motif, yang sangat berbeda. Mungkin itulah yang dimaksudkan dengan kata glebag, yaitu adanya dua hal yang sangat berbeda. Pola ini mengajarkan bahwa perpaduan dua hal atau unsure yang sangat berbeda sekalipun dapat menghasilkan sesuatu yang sungguh indah dan serasi apabila diatur dengan seksama, hati-hti dan penuh perasaan. Keadaan ini dapat berlaku pada perkawinan dua orang yang sangat berbeda tabiat dan keadaannya, dpat pula terjadi pada dua atau beberapa partai politik dalam satu pemerinahan dan masih banyak perumpamaan yang lain. Adapun glebag itu ada bermacam-macam. Glebag ini dinamakan glebag anggrek karena salah satu dari motif yang diisikan dalam bidang tersebut adlah motig anggrek.
15.        Parang Rusak
Setelah selesai membicarakan pola-pola lereng, sudah sepantasnya kita mengetengahkan pola-pola parang, karena kedua jenis / kelompok pola tersebut dasarnya adalah sama, ialah bidang-bidang sempit yang disusun miring. Hanya itu yang sama. Pada pola-pola lereng, udan liris misalnya, bidang-bidangnya berisi motif-motif yang berlain-lainan. Pada pola parang, bidang-bidangnya semuanya sama, tetapi yang paling membedakan lereng dengan parang adanya sebuah lajur yang sangat sempit di antara setiap dua bidang. Lajur sempit itu berisi serangkaian motif-motif mlinjon, yang dahulu kala diyakini orang mengandung banyak kekuatan magis. Dasar peikirannya ialah bahwa rangkaian mlinjon tersebut diperkirakan dapat menambah kekuatan doa atau harapan yang terkandung dalam pola tersebut. Adapun jenis-jenis parang ada banyak sekali jumlahnya, yang paling terkenal ialah yang dinamakan Parang Rusak. Di kalangan masyarakat pecinta batik, banyak beredar teori atau pendapat mengenai asal muasal pola parang tersebut. Banyak pula yang tercantum dalam buku-buku mengenai batik, baik yang berasal dari penulis asing maupun penulis kita sendiri.
Di dalam buku yang berjudul “de Islandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie” (1916) misalnya, G.E. Jasper dan Mas Pirngadi menuliskan dugaan mereka bahwa nama Parang Rusak berasal dari kata Sumatra Utara plang rusa yang berarti padang yang penuh dengan tanduk rusa, yang akhirnya menjadi parang rusak. Menurut kedua penulis tersebut, ada bagian dari motif pokok yang mempunyai tanduk rusa. Dalam buku tersebut, mereka juga mengemukakan pendapat orang lain, ada yang mengatakan bahwa pencipta pola parang rusak tersebut ialah sultan agung, yang begitu terkesan dengan keindahan pantai Laut Selatan dengan karang-karangnya yang rusak. Seorang penulis lain, Sewan Susanto dalam bukunya “Seni Kerajinan Batik Indonesia”, (1980) menulis bahwa kata prang berarti sebuah senjata tajam dan kata rusak menunjuk pada tidak teraturnya motif parang pada pola. Ada kelompok lain yang menafsirkan parang rusak sebagai senjata untuk merusak hal-hal yang batil. Itulah beberapa contoh dari sekian pendapat mengenai parang rusak yang beredar di tengah masyarakat. Belum lagi pendapat-pendapat para pembaca.
Pada pola parang rusak, jelas kita saksikan garis-garis berlekuk-lekuk yang melambangkan garis pantai yang terdiri dari batu-batu karang yang menjadi cekung karena digerogoti air laut. Walaupun garis-garis tersebut jelas mengandung arti, yang lebih penting ialah rangkaian mlinjon yang dilukiskan di tengah-tengah kedua bintang berlekuk tersebut, yang benyak mengandung kekuatan magis dan yang memperkuat doa dan harapan. Adapun di antara dua rangkaian mlinjon terdapat motif-motif yang menyerupai sebilah keris. Menurut pandangan Jawa, keras dapat mewakili pribadi pemiliknya. Sampai sekarang pun keris dapat menjadi wakil pengantin  laki-laki Jawa yang berhalangan hadir pada upacara pernikahannya. Dalam pola parang rusak, motif keris melambangkan raja, karena kebetulan yang membuat pola itu adalah raja. Sehingga pantaslah kalau pada mulanya pola ini hanya diperuntukan bagi raja.
16.        Parang Rusak Sri Sadono 
Perlu diketahui bahwa parang rusak dibuat dalam bermacam-macam ukuran. Pola ini dinamakan parang rusak sri sadono, yang diciptakan oleh Hardjonagoro setelah seorang keponakannya, yaitu Sri Sadono, sembuh dari penyakit yang gawat. Pola ini memperlihatkan berbagai macam ukuran parang rusak. Dari yang terbesar, yang dinamakan barong, berukuran 20cm, sampai ke klithik, yang berarti kecil, yang kadang-kadang dibuat dengan ukuran 1cm.
Kelengkapan kata barong adalah singa barong, sebutan orang Jawa bagi singa, yang diakui sebagai penguasa hutan. Kata barong dalam pola tersebut melambangkan bahwa pola tersebut hanya diperuntukan untuk raja yang merupakan penguasa masyarakat manusia. Dapat dimengerti bahwa pada zaman dahulu pola parang rusak barong hany dipakai oleh raja. Setelah diciptakannya pola parang rusak, banyak pola parang lain yang menyusul, masing-masing berisi motif-motif khas yang mengandung bermacam-macam makna. Namun, walaupun semua parang berbeda makna, ada unsurnya yang sama yaitu semua ada garis mlinjo-nya. Berikut ini ada beberapa contoh pola parang.
17.       Parang Kusuma
Pola ini dinamakan parang kusuma. Kusuma berarti bunga, dan memang polanya kita dapat melihat motif-motif kecl yang menyerupai bunga. Pada umumnya orang mengartikan makna pola ini sebagai harapan agar si pemakai pola tersebut akan menjadi bunga, dalam arti sebagai yang terbaik atau yang menjadi nomer satu dalam bidangnya tau lingkungannya.
18.        Parang Pari Sauli
Bahwa sebuah pola klasik pun juga dapat mengalami perkembangan dapat kita saksikan pada pola parang pari sauli. Pada pola aslinya dapat dilihat dengan jelas tangki-tangki penuh butiran-butiran padi yang melambangkan rezeki atau kemakmuran. Pada pola perkembangan ini ada yang menambahkan lukisan-lukisan bunga kanthil yang melambangkan agar rezeki atau kemakmuran akan selalu terlekat pada si pemakai pola ini. Adapun kelekatan di lambangkan oleh motif-motif kanthil.
19.    Gandasuli
Contoh lain dari pola parang adalah gandasuli. Walaupun pola ini benar-benar sebuah pola parang, kata parang-nya hampir tidak pernah disebut. Pada polanya kita sasikan adanya motif-motif kecil berwarna putih, menyerupai sebuah bunga kecil berwarna putih yang berbau harum. Nama bunga tersebut ialah suli. Adapun kata ganda berarti bau. Jadi, abik melalui nama ataupun polanya, kita dapat menarik kesimpuan bahwa makna pola ini ialah harapan agar si pemakai pola akan harum namanya.
20.          Parang Curiga
Contoh pola parang terakhir dalam buku ini adalah parang curiga. Curiga berarti keras, pisau, senjata atau pusaka. Sayang bahwa pola ini sudah tidak banyak beredar di pasaran, mungkin orang agak ngeri dengan kata curiga yang mengandung pengertian tajam dan berbahaya. Padahal pola ini melambangkan senjata untuk melawan hal-hal yang tidak kita inginkan.
21.        Mugi Rahayu
Orang-orang kuno benar-benar percaya bahwa rangkaian mlinjon yang dilukis dengan tangan sarat dengan kekuatan magis. Salah satu buktinya dapat kita lihat pada pola mugi rahayu ini. Kami saksikan pada pola ini ada yang aneh atau unik, dalam arti sebuah pola yang dasarnya bukan pola lereng namun diperlengkapi dengan rangkaian mlinjon.
Kain tersebut milik almarhumah ibu saya yang telah wafat delapan tahun yang lalu pada usia 95 tahun. Pada usia 12 tahun, saya berkesempatan untuk bertemu dengan seorang bibi ibu saya , yang membatik kain yang kita bicarakan ini. Pada waktu itu, beliau berkunjung ke rumah orang tua saya. Saya tanyakan ke-pada beliau mengapa motif-motif garuda yang begitu indah dilanggar oleh garis-garis miring tersebut. Saya tanyakan pula mengapa garis-garis miring tersebut tidak dilukis terlebih dahulu, baru kemudian dtambah dengan motif-motif garuda. Keterangan beliau sungguh mencengangkan. Pola yang dinamakan mugi rahayu itu memang tidak ada garis-garis miringnya. Nama dan pola kain sudah mengandung harapan semoga pemakai akan selalu sehat, selamat dan bahagia. Demikianlah kira-kira terjemahan kata mugi rahayu dalam Bahasa Indonesia. Lalu mengapa ada tambahan rangkaian mlinjon-nya? Supaya menambah kekuatan magis pada kain tersebut. Baru puluhan tahun kemudian saya memahami makna jawaban tersebut.
Pada waktu itu tahun 1924, ibu saya yang berumur 16 tahun akan meninggalkan kota asalnya, Madiun, untuk melanjutkan pelajaran di kota Semarang. Pada zaman itu, jarak antara kota Madiun dengan Semarang masih terasa cukup jauh, sehingga nenek perlu membekali putrinya dengan doa selamat yang permanen dalam bentuk sehelai kain batik dengan pola yang dinamakan mugi rahay. Polanya sendiri yang penuh dengan motif-motif besar, sedang maupun kecil sudah melambangkan harapan dan doa selamat. Namun, nenek masih ingin memperkuat harapan tersebut dengan tambahan rangkaian mlinjon, walaupun tambahan tersebut menyalahi kaidah-kaidah perpolaan. Mungkin hanya suatu kebetulan, mungkin juga pengaruh makna pola, tetapi ada yang dapat saya ceritakan di sini, bahwa ibu dan seorang kakaknya yang juga mendapat sehelai mugi rahayu yang ada rangkaian mlinjon-nya, kedua-duanya dikaruniai usia yang panjang dan hidup yang penuh karahayon.
22.        Sidamukti, Sidaluhur dan Sidamulya
Mengapa saya kumpulkan ketiga pola tersebut dalam satu kelompok? Karena, baik nama maupun polanya, ketiga-tiganya mengandung kesamaan. Ketiga-tiganya berbentuk dasar belah ketupat, sebuah bentuk geometris, dan di dalamnya ada motif-motif non geometris. Ketiga [ola ini merupakan bentuk campuran antara bentuk geometris dan non geometris. Nama-namanya pun mengandung kesamaan. Ketiganya mulai dengan sida, yaitu sidamukti, sidaluhur dan sidamulya.
Unsur  yang sama telah kita ketahui, yaitu penggalan nama sida yang berarti ‘menjadi’ atau ‘akhirnya menjadi’. Unsure yang jelas membedakan ketiga pola ini terdapat pada bagian akhir nama, yaitu mukti, luhur dan mulya. Motif-motif pada ketiga pola tersebut juga banyak kesamaannya, yaitu terdiri atas motif-motif sayap, burung atau kupu dan bangunan kecil, yang kadang-kadang diartikan sebagai tempat semedi. Kadang-kadang juga diartikan sebagai joli, yaitu tempat untuk mengusung pengantin perempuan.
Yang berbeda pada ketiga pola ini adalah cara pengisian bidang-bidan kosongnya. Sebagaimana sudah kita ketahui sering kali bidang kosong di antara motif-motif utama diberi isian yang disebut isen-ise, yang berupa motif-motif yang kecil. Isen-isen yang memenuhi pola sidamukti ialah ukel. Sebagaimana telah diterangkan di muka, bahwa ukel itu melambangkan kekuatan hidup,  sehingga di samping nyata-nyata berisi harapan untuk menjadi mukti , pola sidamukti  itu juga penuh dengan lambang kekuatan hidup. Adapun kata mukti  sendiri, lebih mudah mengartikannya apabila ditambah kata wibawa di belakangnya dan menjadi mukti wibawa,sebuah istilah Jawa yang mengarahkan pikiran kitapada kedudukan, kepangkatan, kehormatan dan kekuasaan yang sering kali menjadi peluang pengumpulan kekayaan.
Pada pola sidaluhur, motif-motif utamanya hampir sama dengan pola sidamukti, tetapi bidang-bidang kosongnya diisi dengan motif ranting yang di dalam bahasa Jawa disebut lung-lungan, yang mengajarkan kepada kita untuk selalu tulung-tinulung, yang bahasa Indonesianya adalah saling tolong-menolong.
Dari namanya kita dapat menyimpulkan bahwa pola ini mengandung harapan bahwa pemakainya nanti akan menjadi luhur. Walaupun kata luhur sering kita baca atau dengar, sama dengan mukti, kata luhur sangat sulit diterangkan artinya dengan singkat dan sederhana. Lagi-lagi, kata luhur pun perlu bilai-nilai luhur. Nah, saya yakin bahwa tanpa penjelasan lebih lanjut para pembaca tentu dapat merasakan apa yang dimaksudkan dengan luhur. Sidamulya ialah pola ketiga dari kelompok pola sida. Berdasarkan namanya, pesan yang terkandung dalam pola ini tentu saja ialah semoga pemakai pola ini akan mencapai kemuliaan nantinya. Tinggal mengartikan kata mulya saja. Justru itulah pekerjaan yang tidak mudah.
Menurut berbagai macam kamus bahasa Jawa dan penjelasan teman-teman ahli bahasa Jawa, mulya berarti dihormati, bahagia, tinggi martabatnya dan luhur budi pekertinya. Atas dasar keterangan di atas dan ditambah dengan warna dasar putih yang menurut saya member kesan kosong dan bersih, pola sidamulya ini berisi harapan semoga pemakai pola ini akan mendapat hidup bahagia dan bebas dari segala keinginan. 
23.        Semen Rama
Ada lagi pola yang perlu kita ketengahkan di sini. Semen Rama, demikian pola ini dinamakan. Sampai hari ini, pola ini masih cukup banyak beredar di pasaran, namun sebenarnya masyarakat pemakai banyak yang tidak tahu dengan sungguh-sungguh akan maknanya. Orang merasa tertarik pada keindahan pola tersebut kadang-kadang tanpa mengetahui namanya. Yang tahupun tidak semua mengerti akan artinya apalagi mengerti akan maknanya. Sayapun  sudah sejak remaja menyukai pola ini, walaupun belum dapat menangkap maknanya. Saya tahu bahwa nama pola tersebut adalah rama dan bahwa kata di depan rama menunjuk pada kelompok pola tersebut, yaitu kelompok semen. Sebagaimana sudah diterangkan di muka, pola-pola dari kelompok semen banyak mengandung motif-motif kecil yang menyerupai semi, yang berarti tanaman-tanaman yang baru tumbuh yang melambangkan kekuatan hidup.
Kita lihat pada gambar bahwa Semen Rama memang banyak berisi semi-semi atau semen, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola ini setidak-tidaknya melambangkan sekumpulan kekuatan hidup. Adapun kata Rama menunjukkan pada tokoh utama dalam Epos Ramayana. Kebetulan sekali saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat menghayati cerita-cerita wayang. Dengan demikian, saya tahu bahwa Rama atau Ramawijaya, demikian nama lengkapnya, merupakan tokoh keteladanan dalam Bahasa Jawa. Itulah sebabnya saya merasa tertantang untuk mencari ajaran atau pesan apa kiranya yang terkandung dalam pola tersebut.
Untunglah saya akhirnya menemukan beberapa buah buku mengenai batik, antara lain yang ditulis oleh Sewan Susanto (1980) dan Kalinggo Hanggopuro (2002), yang mengutamakan teori mereka bahwa pesan yang terkandung dalam pola semen rama adalah Hastha Brata, suatu ajaran kepemimpinan Jawa. Adapun Hastha Brata tersebut dikarang oleh Yasadipura I, pujangga Karaton Surakarta Hadiningrat pada masa pemerintahan Ingkang Sinuhun Paku Buwana III. Di situ diajarkan bahwa ada delapan (hastha) sifat utama yang harus ada pada seseorang raja yang baik. Delapan sifat tersebut dan raja yang menjadi subjek memang dilambangkan dalam pola tersebut oleh 9 motif utama. Berikut ini saya kutipkan intisari sifat-sifat utama tersebut menurut beberapa teman ahli bahasa Jawa, lengkap dengan penyebutan motif lambangnya.
1.      Memberi kemakmuran kepada kawula, sambil melindungi dan memelihara keindahan bumi.   Dilambangkan oleh motif pohon kehidupan.
2.      Menjadi pengemban keadilan yang sejati. Dilambangkan oleh motif gunung atau Meru.
3.      Menunjukkan keteguhan sikap, sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat setengah-setengah. Dilambangkan oleh motif seekor burung Garuda.
4.      Memberikan ketenangan dan ketentraman kepada para kawula. Dilambangkan oleh motif binatang, pada pola ini seekor kijang.
5.      Berwatak luhur dan tidak menyalahgunakan kekuasaan. Dilambangkan oleh motif burung.
6.      Mengutamakan peningkatan taraf kehidupan rakyat. Dilambangkan oleh motif binatang.
7.      Berhati lapang, mudahmemaafkan dan penuh belas kasihan. Dilambangkan oleh motif naga.
8.      Memiliki kemampuan untuk memberantas angkara murka dan melindungi yang lemah. Dilambangkan oleh motif “lidah api”.
9.      Adapun Raja yang menjadi subjek Hasta-Brata dilambangkan oleh motif Dampar.
Adapun pola Semen Rama diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana IV sekitar tahun 1787-1816 (Honggopuro, 2002).
Dengan demikian, kita saksikan bahwa motif-motif utama yang disebut oleh para penulis tersebut memang terdapat pada pola Semen Rama, dan oleh mereka motif-motif tersebut diperkirakan melambangkan sifat-sifat yang diajarkan di dalam Hastha Brata. Lalu mengapa pola ini dinamakan Rama? Oleh karena tidak semua pembaca mengenal cerita-cerita wayang, maka memang diperlukan sedikit penjelasan.
Pola ini dinamakan Rama oleh karena Rama Wijaya, nama lengkap Rama, mengajarkan Hastha Brata tersebut kepada dua orang calon raja sebelum menaiki tahta yang dipercayakan kepada mereka. Pertama-tama ajaran tersebut disampaikan kepada Brata, saudara muda Rama yang untuk sementara mewakili Rama sebagai raja di Pancawati. Untuk kedua kalinya Rama mengajarkan kepada Wibisana yang menaiki tahta Alengka setelah Rahwana, kakandanya, tewas di tangan Rama. Untunglah cara untuk menemukan makna sebuah pola batik klasik tidak selalu demikian panjang, ada banyak pula yang sangat mudah ditebak.
24.         Pisan Bali
Kebanyakan pola yang kita bicarakan di sini adalah pola-pola yang muda ditebak maknanya, tetapi secara jujur saya akui bahwa ada juga yang lumayan sukar untuk menemukannya. Salah satunya ialah pola yang dapat kita lihat pada gambar 30.
Ada yang istimewa pada pola ini, kerena mengenai namanya saja ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pola ini bernama Pisang bali, mungkin karena motif utamanya menyerupai daun pisang yang berjuntaian ke bawah. Pendapat kedua, di antaranya Hardjonagoro, menamakan pola ini Pisan Bali, karena ia melihat kesamaan makna antara pola batik Pisan Bali dengan sebuah gendhing kehormatan yang dinamakan Pisan Bali. Pisan Bali ini diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan sekali, lalu diulang berkali-kali, karena kata pisan berarti satu kali dan kata bali berarti lagi. Apa sebetulnya yang dilakukan sekali dan berkali-kali? Tidak lain dan tidak bukan ialah doa keselamatan dan kedamaian, yang tertuang baik di dalam rangkaian nada gending Pisan Bali maupun dalam pola batik dengan nama yang sama. Pola ini terdiri dari motif-motif, baik utama maupun tambahan, yang selalu diulang-ulang kembali, dan yang melambangkan doa atau harapan akan keselamatan dan kebahagiaan. Dengan berulang-ulang melukiskan lambang-lambang ke dalam pola, diharapkan terciptalah suasana yang diinginkan.
25.         Cuwiri Mentul
Sebuah pola yang masih banyak dipakai. Ada yang mengartikan cuwiri sebagai nama burung, yang memang ada dalam pola ini. Tetapi kebanyakan orang mencari maknanya dari asal kata cuwiri, dari kata Jawa cuwer yang berarti banyak airnya, atau cuwir kalau airnya banyak. Pendapat ini didukung oleh banyaknya deretan puncak gunung yang melambangkan kesuburan. Kata mentul diperkirakan diambila dari kata cundhuk mentul, yaitu hiasan khas pada sanggul pengantin perempuan Jawa. Di seluruh pola bertebaran lukisan-lukisan menyerupai cundhuk mentul tersebut, sehingga pola ini melambangkan kasuburan dan kemakmuran.
26.         Srikaton
Pola Srikaton juga dapat kita gali maknanya baik melalui nama maupun polanya. Namanya Srikaton, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Sri” yang kelihatan, karena katon berarti kelihatan, atau ada. Motif-motif tangkai dengan bulir-bulir padi mengarahkan pikiran kita kepada Dewi Sri, dewi yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Sri juga dapat melambangkan raja, dibuktikan oleh Gendhing Srikaton yang selalu mengiringi langkah-langkah penguasa karaton Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Paku Buwana, pada waktu beliau memasuki bangsal Sasana Sewaka. Adapun motif-motif sayap melambangkan “Sri” yang tertinggi, yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Pola ini rupa-rupanya mengajarkan bahwa seyogyanya kepercayaan akan ketiga macam pengertian “Sri” tadi selalu harus hadir dalam diri kita agar tercapailah kesejahteraan, baik rohani maupun jasmani.
27.         Wahyu Tumurun
Selanjutnya pembaca akan saya ajak untuk mengenali contoh-contoh pola yang banyak diminati karena sebagian besar masyarakat kenal namanya dan merasa tahu akan maknanya. Yang sangat terkenal di antara pola-pola tersebut ialah Wahyu Tumurun.
Nama pola bararti karunia yang turun dari “Atas”. Yang dimaksud dengan “Atas” tentulah Tuhan Pencipta Alam Semesta. Tahulah kita sekarang mengapa Wahyu Tumurun begitu banyak dapat dinamakan klasik karena belum seabad umurnya. Tetapi karena begitu banyak peminatnya, saya bicarakan juga dalam buku ini. Berikut adalah cerita lahirnya Wahyu Tumurun, yang disampaikan kepada saya oleh seorang kawan akrab yaitu almarhumah RA. Hilmiyah Darmawan Pancawala, seorang bangsawan Mangkunegara.
Pada tahun 1930, demikian kisah dimulai, RA Setya dari kalangan istana Mangkunegara inigin menciptakan sebuah pola batik yang melambangkan sesuatu yang umum atau dasar sehingga dapat digunakan oleh semua orang. Setelah selesai, pola tersebut dinamakan Kukila Wibawa, yang berarti burung yang berwibawa. Memang ada motif burung dalam pola tersebut, tapi dari namanya orang tidak dapat menebak makna yang ada di belakangnya.  Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika mulai dipasarkan, tidak ada tanggapan dari masyarakat, dan Kukila Wibawa dilupakan orang. Lalu kira-kira 30 tahun kemudia, seorang bangsawan lain dari Mangkunegara, R.U. Surahmat Suryodipura, menemukan pola yang sudah terlupakan tersebut. Rupa-rupanya ia dapat membaca pesan yang terkandung dalam pola itu dan merasa sayang apabila masyarakat tidak memperoleh kemanfaatannya. Untuk itu, pola yang sama tersebut diberi nama baru, nama yang jelas-jelas menyatakan apa yang terkandung dalam polanya, yaitu harapan akan rahmat Tuhan. Apa yang terjadi setelah pola yang sebelumnya tidak disukai itu diberi nama baru yang sesuai dengan maknanya?
Benar tebakan para pembaca. Begitu pola yang diperkenalkan kembali dengan nama baru, yaitu Wahyu Tumurun, masyarakat menyambutnya dengan positif. Segera saja Wahyu Tumurun menjadi sangat terkenal dan banyak diminati sampai sekarang. Akhirnya tercapailah keinginan RA. Setya, pencipta pola, bahwa ia mampu menyusun pola yang melambangkan harapan dasar manusia, karena tidaka ada yang lebih dasar daripada harapan akan turunnya rahmat Tuhan. Walaupun kebanyakan peminat pola ini sudah puas dengan makna di balik namanya, ada juga yang mencoba mencarinya pada pola, motif mana yang melambangkan turunnya wahyu. Menurut pendapat banyak orang, motif awan itulah yang melambangkan asal Wahyu. Tetapi pasti ada pembaca yang mempunyai pendapat lain.
28.         Alas-alasan
Pola Alas-alasan juga mudah ditebak maknanya melalui nama dan motif-motifnya.  Nama alas-alasan berasala dari kata Jawa alas yang berarti: hutan dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, alas-alasan berarti hutan-hutanan atau seperti hutan. Pada pola ini terdapat banyak motif binatang, mulai dari yang sangat besar yaitu gajah sampai dengan serangga, binatang yang sangat kecil,. Pola ini benar-benar kuno, sangat indah dan berisi pelajaran yang penting sekali bagi kita semua. Sayang bahwa pola ini tidak begitu dikanal oleh generasi muda sekarang, padahal pola ini mengandung ajaran yang berharga, yang berlaku untuk selamanya. Bila kita amati pola ini dan kita hubungkan dengan namanya, kita segera tahu bahwa pola tersebut menggambarkan masyarakat hutan dengan segala macam huniannya. Kita lihat begitu banyak binatang, dari yang sangat besar sampai dengan yang sangt kecil, ada yang buas ada yang jinak, ada yang terbang ada juga yang merayap, dan masih banyak lagi. Jelaslah bahwa pola Alas-alasan ini melambangkan keadaan pada masyarakat kita yang penuh dengan manusia yang pada hakikatnya memiliki sifat-sifat yang sama dengan masyarakat penghuni hutan. Bedanya adalah penghuni hutan tidak dapat menyamai manusia, sedangkan masyarakat manusia mungkin saja menyamai binatang dalam perilakuny, bahkan dapat melebihinya. Pelajaran yang dapat kita ambil dari pola ini ialah bahwa diperlukan sikap arif dan bijaksana untuk dapat hidup dengan tenang, aman dan bahagia di dalam masyarakat yang penuh dengan berbagai tantangan.
29.         Bondhet
Pola Bondhet pasti juga mengandung suatu pesan yang berguna bagi kita semua. Untuk mengetahuinya kita dapat mencoba mempelajari nama dan motif-motif pada polanya. banyak di antara kita mencari asal kata bondhet dari kata bundhet yang mengandung arti: terjalinnya dua unsur menjadi satu dengan demikian eratnya sehingga sulit dilepaskan kembali. Dari segi motif, dalam pola ini terdapat sejenis mahkluk khayalan di antara motif-motif utamanya, yaitu seekor burung yang berkepala naga. Menurut sya, motif tersebut melambangkan leburnya dua insan, seorang laki-laki dan perempuan, menjadi satu dalam ikatan perkawinan. Keluar, sepasang suami istri seyogyanya bersikap dan berpendapat satu, yang dilambangkan sebelah kaki burung yang terikat. Ke dalam, sebaiknya kedua-duanya memilki kepribadian mereka sendiri-sendiri. Hal tersebut dilambangkan oleh kaki burung yang tidak terikat.
30.         Kanthil 
Gambar 36 memperlihatkan satu contoh pola lagi, yang dari motif-motif maupun namanya mudah ditebak maknanya, yaitu pola kanthil. Kanthil ialah nama sebuah bunga yang berwarna putih kekuning-kuningan dengan bau wangi yang sangat khas. Adapun kata Jawa kanthil berartiterlekat dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itulah, sejak dahulukala bunga kanthil pada masyarakat Jawa dikenal sebagai lambang keterletakan sesuatu pada sesuatu yang lain. Salah satu buktinya masih dapat kita saksikan sampai hari ini pada hiasan-hiasan bunga sanggul pengantin perempuan Jawa dan keris pengantin laki-laki. Di sisi kanan sanggul dipasangi untaian bunga melati yang menjuntai ke bawah sampai sebatas dada, yang dikunci dengan bunga-bunga kanthil. Hiasan bunga kanthil pada pengantin Jawa melambangkan terletaknya suami istri dalam perkawinan. Pada perkembangan selanjutnya, keterlekatan tersebut juga melambangkan hubungan antara atasan dengan bawahan misalnya.
31.         Trenggiling Menthik
Trenggiling Menthik merupkan sebuah pola ceplok, yang juga kuno dan masih sangat terkenal sampai hari ini. Trenggiling ialah nama seekor binatang kerat dan menthik berarti kecil sekali. Pada pola ini, motif yang mengisi bentukan-bentukan geometris pola ini bukanlah penampang bunga, buah atau bintang, tapi seekor trenggiling kecil dalam posisi melingkar. Pola ini melambangkan yang kecil pun dapat bermanfaat.

Daftar Pustaka

ACHJADI, J. (Ed), 1999, Batik: Spirit of Indonesia, Yayasan Batik Indonesia, Jawa Barat.
Anggraeni, J., 2010, “Bangsa Ini Telah Mengalami Tsunami Budaya” dalam Majalah Femina, PT Gaya Favorit Press, Jakarta.
Anonim, “Kisah Sehelai Batik”, Bonus Majalah Femina Edisi Tahunan 2010.
Anonim, 1999, Majalah Batik Indonesia Sekar Jagad Nomor 1/Tahun I – Agustus 1999, Yogyakarta.
Anonim, 2000, Majalah Batik Indonesia Sekar Jagad Nomor 3/Tahun I – Oktober 2000, Yogyakarta.
Anonim, 2001, Majalah Batik Indonesia Sekar Jagad Nomor 5/Tahun II – November 2001, Yogyakarta.
Asikin, S., 2008, Ungkapan Batik di Semarang: Motif Batik Semarang 16, Cipta Prima Nusantara Semarang, Semarang.
Atmojo, H., 2008, Batik Tulis Tradisional Kauman, Solo: Pesona Budaya nan Eksotik, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo.
Condronegoro, M.S., 1995, Busana Adat Kraton Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Djoemena, N.S., 1990, Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning,, Djambatan, Jakarta.
Djumena, N.S., 1990, Batik dan Mitra, Djambatan, Jakarta.
Doellah, S., 2002, Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungannya, Danar Hadi, Surakarta.

BALI HOLIDAY

BALI HOLIDAY
M E ODASAMODRA